KOMPAS.com - Pagi-pagi benar Iwan sudah harus sampai di tempat kerjanya. Maklumlah, jarak antara rumah dan tempat kerjanya yang cukup jauh membuat dia harus bangun untuk mengejar kereta dari arah Depok menuju stasiun Cikini.
Pria beristri dengan empat anak ini pagi itu tampak sibuk dengan tugasnya sebagai radiografer di salah satu rumah sakit milik pemerintah. Pekerjaan sebagai radiografer sudah digelutinya selama 26 tahun.
Meski tahu akan bahaya dari pekerjaan yang dia jalani, Ridwan tetap tekun. Bahkan, tanpa ada rasa khawatir dia mengatakan, jika terjadi suatu hal yang buruk pada dirinya itu semua adalah sebagai risiko yang harus dia terima dari pekerjaannya.
Sebagai radiografer, Iwan memang hampir setiap hari bersinggungan dengan alat-alat yang memancarkan radiasi seperti rontgen, pesawat sinar x dan CT (computed axial tomography) Scan. Salah satu tugas radiografer adalah melaksanakan tindakan radiasi sesuai instruksi tertulis dari dokter spesialis Radiologi konsultan Onkologi Radiasi termasuk pengaturan alat, posisi tiap pasien.
Apa yang dijalani pria paruh baya ini merupakan bukti tak sedikit di antara masyarakat yang harus bekerja di bawah ancaman risiko radiasi setiap hari. Selain radiografer, tenaga kesehatan lain seperti para dokter dan perawat di rumah sakit yang memiliki fasilitas radioterapi juga sama-sama berisiko. Pasalnya, mereka secara rutin bersinggungan dan berada di sekitar alat-alat kedokteran yang mengeluarkan radiasi.
Mendengar ancaman radiasi dikaitkan dengan peristiwa reaktor nuklir akibat gempa dan tsunami di Jepang, Irwan menanggapinya dengan biasa. Apalagi ancaman radiasi sudah menjadi bagian dari hidupnya. Walaupun sama-sama ada risiko radiasi, apa yang terjadi di Jepang menurutnya jauh berbeda dengan pekerjaannya sebagai radiografer.
"Kalau pesawat sinar x memancar saat kita tembakan. Kalau radiasi yang terjadi di reaktor nuklir itu terus-terusan memancar, jadi bisa mengkontaminasi lingkungan,"serunya.
Iwan pun mengaku tidak khawatir. Ia merasa yakin bahwa profesi yang dilakoninya sudah mendapat perlindungan.
"Itu sudah risiko pekerjaan. Ya, kami dimonitor menggunakan personal monitoring. Tiap bulan, dosis radiasi yang kita terima dibaca oleh badan yang berwenang kemudian diinformasikan pada kita," ujar Iwan.
Walau sudah berpengalaman, Iwan mengaku tetap bekerja sesuai norma proteksi radiasi yang ada. Biasanya dalam bekerja Iwan menggunakan dua alat pengaman yang sudah tersedia di ruangan.
Alat yang pertama adalah pelindung berbentuk papan yang selama ini dipercaya efektif menahan radiasi dan pakaian proteksi radiasi (APRON). Kedua alat proteksi itu mengandung unsur kimia, metal yang mempunyai ketebalan setara dengan 0,35 mm timbal.
Risiko kecil
Seorang pekerja yang biasa bersentuhan dengan radiasi, menurut Inspektur Utama Keselamatan Nuklir Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) Togap Marpaung, kecil kemungkinannya terkena dampak kesehatan yang serius.
Pasalnya, para tenaga kesehatan seperti radiografer sudah diperlengkapi alat-alat yang pelindung dan ruangan kerjanya pun sudah didesain sedemikan rupa sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
"Dari riset di Indonesia, belum ada petunjuk ke arah situ. Sehingga teman-teman yang bekerja di radiologi hemat kita belum ada yang mengarah ke situ," ujar Togap.
Bukan hanya itu, untuk menjaga keselamatan pekerja radiologi, berdasarkan peraturan dari Bapaten soal pemantauan kesehatan pekerja radiasi, setiap pekerja radiasi wajib diperiksa sekurang-kurangnya sekali dalam setahun dan bisa juga lebih jika dianggap penting.
Seorang pekerja radiasi dikatakan aman jika batas dosis yang mereka terima tidak melebihi 20 miliseivert (mSV) per tahun.
"Sedangkan untuk radiografer, faktanya, mereka hanya menerima paparan radiasi 0,1 miliseivert per bulan sehingga para pekerja radiasi tidak perlu khawatir akan dampak dari radiasi," tambahnya.
Togap menegaskan, memang ada kemungkinan pekerja radiasi terkena kanker, tetapi radiasi bukanlah penyebab utamanya. Menurutnya, banyak faktor faktor lain di luar radiasi yang menyebabkan seseorang terkena kanker.
Pria beristri dengan empat anak ini pagi itu tampak sibuk dengan tugasnya sebagai radiografer di salah satu rumah sakit milik pemerintah. Pekerjaan sebagai radiografer sudah digelutinya selama 26 tahun.
Meski tahu akan bahaya dari pekerjaan yang dia jalani, Ridwan tetap tekun. Bahkan, tanpa ada rasa khawatir dia mengatakan, jika terjadi suatu hal yang buruk pada dirinya itu semua adalah sebagai risiko yang harus dia terima dari pekerjaannya.
Sebagai radiografer, Iwan memang hampir setiap hari bersinggungan dengan alat-alat yang memancarkan radiasi seperti rontgen, pesawat sinar x dan CT (computed axial tomography) Scan. Salah satu tugas radiografer adalah melaksanakan tindakan radiasi sesuai instruksi tertulis dari dokter spesialis Radiologi konsultan Onkologi Radiasi termasuk pengaturan alat, posisi tiap pasien.
Apa yang dijalani pria paruh baya ini merupakan bukti tak sedikit di antara masyarakat yang harus bekerja di bawah ancaman risiko radiasi setiap hari. Selain radiografer, tenaga kesehatan lain seperti para dokter dan perawat di rumah sakit yang memiliki fasilitas radioterapi juga sama-sama berisiko. Pasalnya, mereka secara rutin bersinggungan dan berada di sekitar alat-alat kedokteran yang mengeluarkan radiasi.
Mendengar ancaman radiasi dikaitkan dengan peristiwa reaktor nuklir akibat gempa dan tsunami di Jepang, Irwan menanggapinya dengan biasa. Apalagi ancaman radiasi sudah menjadi bagian dari hidupnya. Walaupun sama-sama ada risiko radiasi, apa yang terjadi di Jepang menurutnya jauh berbeda dengan pekerjaannya sebagai radiografer.
"Kalau pesawat sinar x memancar saat kita tembakan. Kalau radiasi yang terjadi di reaktor nuklir itu terus-terusan memancar, jadi bisa mengkontaminasi lingkungan,"serunya.
Iwan pun mengaku tidak khawatir. Ia merasa yakin bahwa profesi yang dilakoninya sudah mendapat perlindungan.
"Itu sudah risiko pekerjaan. Ya, kami dimonitor menggunakan personal monitoring. Tiap bulan, dosis radiasi yang kita terima dibaca oleh badan yang berwenang kemudian diinformasikan pada kita," ujar Iwan.
Walau sudah berpengalaman, Iwan mengaku tetap bekerja sesuai norma proteksi radiasi yang ada. Biasanya dalam bekerja Iwan menggunakan dua alat pengaman yang sudah tersedia di ruangan.
Alat yang pertama adalah pelindung berbentuk papan yang selama ini dipercaya efektif menahan radiasi dan pakaian proteksi radiasi (APRON). Kedua alat proteksi itu mengandung unsur kimia, metal yang mempunyai ketebalan setara dengan 0,35 mm timbal.
Risiko kecil
Seorang pekerja yang biasa bersentuhan dengan radiasi, menurut Inspektur Utama Keselamatan Nuklir Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) Togap Marpaung, kecil kemungkinannya terkena dampak kesehatan yang serius.
Pasalnya, para tenaga kesehatan seperti radiografer sudah diperlengkapi alat-alat yang pelindung dan ruangan kerjanya pun sudah didesain sedemikan rupa sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
"Dari riset di Indonesia, belum ada petunjuk ke arah situ. Sehingga teman-teman yang bekerja di radiologi hemat kita belum ada yang mengarah ke situ," ujar Togap.
Bukan hanya itu, untuk menjaga keselamatan pekerja radiologi, berdasarkan peraturan dari Bapaten soal pemantauan kesehatan pekerja radiasi, setiap pekerja radiasi wajib diperiksa sekurang-kurangnya sekali dalam setahun dan bisa juga lebih jika dianggap penting.
Seorang pekerja radiasi dikatakan aman jika batas dosis yang mereka terima tidak melebihi 20 miliseivert (mSV) per tahun.
"Sedangkan untuk radiografer, faktanya, mereka hanya menerima paparan radiasi 0,1 miliseivert per bulan sehingga para pekerja radiasi tidak perlu khawatir akan dampak dari radiasi," tambahnya.
Togap menegaskan, memang ada kemungkinan pekerja radiasi terkena kanker, tetapi radiasi bukanlah penyebab utamanya. Menurutnya, banyak faktor faktor lain di luar radiasi yang menyebabkan seseorang terkena kanker.
0 Response to "Mereka yang "Bersahabat" dengan radiasi"
Posting Komentar