Belum lama ini di fanpage ‘Cafe Radiologi’ terdapat diskusi yang sangat dinamis. Mula-mula tema diposting oleh Ahmad Hariri yang menggugat keefektifan kegiatan Seminar yang kerap diselenggarakan oleh Perhimpunan Radiografer Indonesia (Selanjutnya ditulis PARI---Pen) sebagai organisasi profesi.
Tak lama setelah tema diskusi diwacanakan, segera saja beberapa komentar bermunculan dengan isi pendapat yang berragam. Bahkan si Babeh http://www.facebook.com/profile.php?id=1787050497 tokoh senior kita sampai harus urun rembug dalam diskusi tersebut. Termakasih Beh...
Setidaknya terdapat Empat pokok pemikiran yang masuk dalam pembahasana, yaitu:
- Peristilahan antara Seminar dengan Workshop
- Pembiayaan yang relatif mahal
- Mata acara (agenda kegiatan)
- Sebuah usulan: Model seminar murah
SEMINAR & WORKSHOP
- Tataran Konsep
Sedangkan Seminar umumnya diartian sebagai sebuah diskusi dua arah. Seminar adalah sebuah tempat untuk menggodok ide. Ia bukanlah tempat untuk membenarkan diri. Setiap orang harus kritis namun menerima bila ada pendapat yang lebih baik. Di dalam seminar semua orang memiliki posisi yang sama. Sebuah seminar yang baik tidaklah harus menghasilkan sebuah kesimpulan tunggal. Setiap orang bisa pulang dengan pendapatnya masing-masing. Yang terpenting adalah mata mereka lebih terbuka, mereka telah melihat ide-ide baru yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh mereka.
Dengan memperhatikan uraian diatas, maka menurut hemat Penulis, aktivitas tahunan yang sering dilakukan PARI lebih tepat disebut Seminar daripada Workshop.
2. Tataran Realita
Sebagaimana disadari oleh Hariri sendiri yang kemudian dikuatkan oleh Bang Buyek bahwa pengambilan istilah itu ---dibaca:Workshop-Pen---adalah aspirasi dari para Anggota PARI. Namun dalam pandangan Hariri, hal ini merupakan bentuk kebohongan publik yang semestinya tidak dilakukan oleh PARI. Disebut bohong, mengingat faktanya menunjukkan bahwa kegiatan yang dilangsungkan selama ini cenderung lebih tepat dinamakan seminar ketimbang workshop. Sedang Bang Buyek ---seorang aktivis Pari Jaya---memandangnya, hal ini dilakukan tidak lebih sebagai strategi agar Institusi tempat anggotanya mengabdi dapat memfasilitasinya.
Kembali pada “Workshop” yang banyak diusulkan oleh para anggota PARI, dalam penelaahan Penulis memungkinkan munculnya dua pemahaman. Pertama, workshop yang boleh jadi keberadaannya memang sangat dinanti-nanti oleh para anggota PARI, yaitu benar-benar kegiatan workshop yang selain diskusi juga ada prakteknya (on hand).
Kedua, mungkin saja workshop sebagaimana diterangkan oleh Bang Buyek, yakni sekadar ‘pinjam’ istilah guna memudahkan proses birokrasi. Mengingat berdasarkan pengalaman beberapa institusi Diklat pada Rumah sakit lebih akan meloloskan karyawannya diikutkan dalam kegiatan workshop daripada cuma sebatas seminar. Mana yang benar? Masih harus dilakukan penggalian informasi lebih lanjut, harus dikembangkan dalam bentuk penelitian yang lebih sistematis dan terrencana.
Bagi Penulis, persoalan ini semestinya menjadi “PR” serius yang selayaknya ditindaklanjuti oleh yang kompeten, dalam hal ini PARI Departemen Litbang (adakah Departemen tersebut? Wallahu a’lam).
PEMBIAYAAN MAHAL
Mengambil sampel pada kegiatan yang akan diselenggarakan pada akhir bulan ini saja (Maret 2011), biaya pendaftaran termurah adalah yang diadakan oleh Pengda DKI seharga Rp 750.00,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) sedang termahal Pengda Jateng senilai Rp 1.250.00,00 (satu juta dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Munculnya angka tersebut sudah pasti telah melalui kalkulasi matang sebagai konsekwensi tuntutan layanan yang memuaskan. Diantaranya adalah tempat yang nyaman dan representatif, dalam hal ini biasanya menggunakan fasilitas hotel berbintang dan berkelas.
Untuk itu, menjadi menarik apa yang ditulis Ari Galuh de Jonge.
Biaya pendaftaran yang segede itu, tidak sebanding dengan pendapatan rata-rata radiografer muda yang bekerja di wilayah Jakarta. Informasi dari berbagai sumber terpercaya, diketahui gaji Radiografer pemula rata-rata hanya Rp 1.400.000,00 (Satu juta empat ratus ribu rupiah). Bila dipaksakan mengikuti acara tersebut dengan asumsi dana sendiri, yang bersangkutan dipastikan bakal tekor dan mengalami kesulitan dalam menyambung hidup di hari-hari selanjutnya, pasca mengikuti kegiatan PARI.
Tidak dipungkiri, memang, beberapa instansi ada yang bisa memperoleh sponsorship, bersyukurlah. Namun bila dibandingkan antara yang dapet dengan tidak, rasanya masih belum sepadan. Betapapun, kata Bung Hariri, kawan-kawan anggota PARI yang belum bernasib baik itu (gaji pas-pasan and minus sposorship) , mereka juga saudara kita yang memiliki hak dalam pengembangan wawasan dan keilmuan yang diselenggarakan oleh Profesi. Hal yang demikian, menurut catatan Bung Hariri, menjadi “PR” berikutnya bagi PARI untuk bisa mencarikan solusi terbaiknya.
AGENDA ACARA
Pertanyaan kritis yang diajukan Bung Hariri adalah: lebih banyak kongkow-kongkow atau sesion ilmiah? Mayoritas komentator berpendapat, akan berpulang pada pribadi masing-masing peserta.
Dalam pengamatan dan pengalaman penulis selama mengikuti kegiatan PARI, sebenarnya PARI terlihat telah sungguh-sungguh berusaha maksimal memberikan yang terbaik. Parameter yang dipakai adalah jadwal acara yang sudah dicanangkan, menurut penilaian Penulis, relatif lebih dari cukup baik.
Dan patut disadari, mengakomodir aspirasi anggota yang berlatar belakang heterogen dalam sebuah kegiatan memang menjadi sebuah tantangan tersendiri untuk tidak menyebut istilah sulit. Penggunaan tema-tema “dari pemeriksaan konvensional sampai imaging” kerap dipakai PARI, Penulis berpendapat merupakan upaya PARI supaya dapat menjembatani anggotanya dari yang masih gatek (gagap teknologi) oleh karena kondisi, maupun bagi peserta yang sudah lihai di ranah IT (Information Technology). Oleh karena itu, bagi Penulis, hal yang demikian sangat-sangat bisa dimaklumi.
Namun demikian, satu hal yang patut menjadi sorotan adalah kesiapan Nara Sumber (atau Panitia) dalam mendokumentasikan makalah yang akan dipresentasikan. Tahun 2004 (Seminar Nasional di Hotel Accacia-Jakarta) dan 2006 (Seminar Internasional di Hotel Grasia-Semarang) telah mampu menerbitkan sebuah modul/buku yang ditulis oleh pemateri lengkap dengan daftar pustakanya (Penulis sangat apresiatif atas ikhtiar ini). Tetapi pada tahun 2010 (Seminar Nasional di Pekan Baru), mengalami penurunan kualitas yang sangat signifikan.
Penulis berani menyebut demikian, hal ini dengan indikasi diantaranya selain buku modul tidak ada (hanya copy CD Presentasi), Seminar Kit yang biasanya dimasukkan dalam tempat/tas cantik yang ekslusif (ada tertera cetakan yang mengabadikan jenis dan waktu kegiatan sebagai kenang-kenangan) di Riau tidak mampu mewujudkan. Disamping, tempat arena kegiatan yang berpindah secara mendadak juga adanya beberapa mata acara yang mengalami perubahan dengan tanpa perhitungan matang (sorry ini penilaian subjektif Penulis, mudah-mudahan tidak keliru).
Nah, pola ketidakmatangan dan kecermatan Panitia dalam mengelola agenda acara akan menjadi celah bagi peserta untuk kongkow-kongkow. Walaupun pada dasarnya, sekali lagi kembali pada jati diri dan pribadi masing-masing peserta. Hanya saja, kalau Panitia bisa mengeliminir akan hal itu, kenapa tidak?
SEBUAH USULAN: Model Seminar Murah
Kegelisahan akan kebutuhan Seminar berbiaya murah sudah dirasakan sejak lama. Sehubungan dengan itu, Allahu yarham Nova Rahman (Pendiri situs ‘Tempat Nongkrongnya Radiografer se-Indonesia’) pada saat menjelang Seminar Nasional di Banten (2008) pernah menulis usulan konsep seminar radiologi berbiaya murah.
Lebih lengkap usulan beliau saya copy dari Site Radiografer.Net sebagai berikut:
1. Seminar Radiologi sebaiknya dilakukan per Pengda masing-masing.
2. Jika ada Pengda yang pengurusnya sedikit atau kurang aktif, bisa ikut serta di Pengda terdekat yang mengadakan seminar radiologi ini.
3. Untuk menghemat biaya, seminar diadakan di tempat yang cukup besar namun tidak mahal sewanya, seperti aula RS, aula kampus dsb.
4. Pembicara yang qualified dan capable di undang di Pengda yang mengadakan seminar tersebut (lebih murah mengundang pembicara, daripada semua peserta seminar se-Indonesia yang datang ke suatu tempat).
5. Seminar dilaksanakan seharian penuh (dari pagi sampai sore atau bahkan menjelang maghrib), ini dimaksudkan supaya waktunya bisa lama dan tidak ada pengeluaran extra untuk penginapan dan makan malam.
6. Sertifikat diberikan oleh Panitia penyelenggara dengan Mengetahui Ketua PARI Pusat, sehingga sertifikatnya bisa diakui secara nasional.
7. Jika pemberdayaan Pengda berjalan seperti ini, maka saya yakin setiap Pengda di Indonesia akan semakin kreatif untuk mengadakan acara dan kegiatan di Pengda nya masing-masing.
Demikian sekedar coretan yang berusaha merangkum diskusi yang mula-mula diprakarsai oleh Bung Hariri. Terimakasih kepada semua pihak yang telah turut berkontribusi. Tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk merendahkan atau mengecilkan pihak manapun. Terhadap sisi positif yang telah dilakukan PARI kami mengucapkan terimakasih, bila ada yang kurang, kami menganggapnya sebagai peluang untuk lebih bisa berjuang. Kami bangga pada PARI, jayalah Radiografer Indonesia. Terimakasih.
0 Response to "Menggugat Efektifitas Seminar"
Posting Komentar