Menggugat Efektifitas Seminar

Belum lama ini di fanpage ‘Cafe Radiologi’ terdapat diskusi yang sangat dinamis. Mula-mula tema diposting oleh Ahmad Hariri yang menggugat keefektifan kegiatan Seminar yang kerap diselenggarakan oleh Perhimpunan Radiografer Indonesia (Selanjutnya ditulis PARI---Pen) sebagai organisasi profesi.

Tak lama setelah tema diskusi diwacanakan, segera saja beberapa komentar bermunculan dengan isi pendapat yang berragam. Bahkan si Babeh http://www.facebook.com/profile.php?id=1787050497 tokoh senior kita sampai harus urun rembug dalam diskusi tersebut. Termakasih Beh...

Setidaknya terdapat Empat pokok pemikiran yang masuk dalam pembahasana, yaitu:

  1. Peristilahan antara Seminar dengan Workshop
  2. Pembiayaan yang relatif mahal
  3. Mata acara (agenda kegiatan)
  4. Sebuah  usulan: Model seminar murah



SEMINAR & WORKSHOP
  1. Tataran Konsep
Untuk mendudukan persoalan sebaiknya kita lihat dulu pemaknaan harfiahnya. Workshop adalah pelatihan kerja, yang meliputi teori dan praktek dalam satu kegiatan terintegrasi.

Sedangkan Seminar umumnya diartian sebagai sebuah diskusi dua arah. Seminar adalah sebuah tempat untuk menggodok ide. Ia bukanlah tempat untuk membenarkan diri. Setiap orang harus kritis namun menerima bila ada pendapat yang lebih baik. Di dalam seminar semua orang memiliki posisi yang sama. Sebuah seminar yang baik tidaklah harus menghasilkan sebuah kesimpulan tunggal. Setiap orang bisa pulang dengan pendapatnya masing-masing. Yang terpenting adalah mata mereka lebih terbuka, mereka telah melihat ide-ide baru yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh mereka.

Dengan memperhatikan uraian diatas, maka menurut hemat Penulis, aktivitas tahunan yang sering dilakukan PARI lebih tepat disebut Seminar daripada Workshop.

2. Tataran Realita
Sebagaimana disadari oleh Hariri sendiri yang kemudian dikuatkan oleh Bang Buyek bahwa pengambilan istilah itu ---dibaca:Workshop-Pen---adalah aspirasi dari para Anggota PARI. Namun dalam pandangan Hariri, hal ini merupakan  bentuk kebohongan publik yang semestinya tidak dilakukan oleh PARI. Disebut bohong, mengingat faktanya menunjukkan bahwa kegiatan yang dilangsungkan selama ini cenderung lebih tepat dinamakan seminar ketimbang workshop. Sedang Bang Buyek ---seorang aktivis Pari Jaya---memandangnya, hal ini dilakukan tidak lebih sebagai strategi agar Institusi tempat anggotanya mengabdi dapat memfasilitasinya.

Kembali pada “Workshop” yang banyak diusulkan oleh para anggota PARI, dalam penelaahan Penulis memungkinkan munculnya dua pemahaman. Pertama, workshop yang boleh jadi keberadaannya memang sangat dinanti-nanti oleh para anggota PARI, yaitu benar-benar kegiatan workshop yang selain diskusi juga ada prakteknya (on hand).  

 Kedua, mungkin saja workshop sebagaimana diterangkan oleh Bang Buyek, yakni sekadar ‘pinjam’ istilah guna memudahkan proses birokrasi. Mengingat berdasarkan pengalaman beberapa institusi Diklat pada Rumah sakit lebih akan meloloskan karyawannya diikutkan dalam kegiatan workshop daripada cuma sebatas seminar. Mana yang benar? Masih harus dilakukan penggalian informasi lebih lanjut, harus dikembangkan dalam bentuk penelitian yang lebih sistematis dan terrencana.

Bagi Penulis, persoalan ini semestinya menjadi “PR” serius yang selayaknya ditindaklanjuti oleh yang kompeten, dalam hal ini PARI Departemen Litbang (adakah Departemen tersebut? Wallahu a’lam).

PEMBIAYAAN MAHAL
Mengambil sampel pada kegiatan yang akan diselenggarakan pada akhir bulan ini saja (Maret 2011), biaya pendaftaran termurah adalah yang diadakan oleh Pengda DKI seharga Rp 750.00,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) sedang termahal Pengda Jateng senilai Rp 1.250.00,00 (satu juta dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Munculnya angka tersebut sudah pasti telah melalui kalkulasi matang sebagai konsekwensi tuntutan layanan yang memuaskan. Diantaranya adalah tempat yang nyaman dan representatif, dalam hal ini biasanya menggunakan fasilitas hotel berbintang dan berkelas.
Untuk itu, menjadi menarik apa yang ditulis Ari Galuh de Jonge.

Biaya pendaftaran yang segede itu, tidak sebanding dengan pendapatan rata-rata radiografer muda yang bekerja di wilayah Jakarta. Informasi dari berbagai sumber terpercaya, diketahui gaji Radiografer pemula rata-rata hanya Rp 1.400.000,00 (Satu juta empat ratus ribu rupiah). Bila dipaksakan mengikuti acara tersebut dengan asumsi dana sendiri, yang bersangkutan dipastikan bakal tekor dan mengalami kesulitan dalam menyambung hidup di hari-hari selanjutnya, pasca mengikuti kegiatan PARI.

Tidak dipungkiri, memang, beberapa instansi ada yang bisa memperoleh sponsorship, bersyukurlah. Namun bila dibandingkan antara yang dapet dengan tidak, rasanya masih belum sepadan. Betapapun, kata Bung Hariri, kawan-kawan anggota PARI yang belum bernasib baik itu (gaji pas-pasan and minus sposorship) , mereka juga saudara kita yang memiliki hak dalam pengembangan wawasan dan keilmuan yang diselenggarakan oleh Profesi.  Hal yang demikian, menurut catatan Bung Hariri, menjadi “PR” berikutnya bagi PARI untuk bisa mencarikan solusi terbaiknya.

AGENDA ACARA

Pertanyaan kritis yang diajukan Bung Hariri adalah: lebih banyak kongkow-kongkow atau sesion ilmiah? Mayoritas komentator berpendapat, akan berpulang pada pribadi masing-masing peserta.

Dalam pengamatan dan pengalaman penulis selama mengikuti kegiatan PARI, sebenarnya PARI terlihat telah sungguh-sungguh berusaha maksimal memberikan yang terbaik. Parameter yang dipakai adalah jadwal acara yang sudah dicanangkan, menurut penilaian Penulis, relatif lebih dari cukup baik.

Dan patut disadari, mengakomodir aspirasi anggota yang berlatar belakang heterogen dalam sebuah kegiatan memang menjadi sebuah tantangan tersendiri untuk tidak menyebut istilah sulit. Penggunaan tema-tema “dari pemeriksaan konvensional sampai imaging” kerap dipakai PARI, Penulis berpendapat merupakan upaya PARI supaya dapat menjembatani anggotanya dari yang masih gatek (gagap teknologi) oleh karena kondisi, maupun bagi peserta yang sudah lihai di ranah IT (Information Technology). Oleh karena itu, bagi Penulis, hal yang demikian sangat-sangat bisa dimaklumi.

Namun demikian, satu hal yang patut menjadi sorotan adalah kesiapan Nara Sumber (atau Panitia) dalam mendokumentasikan makalah yang akan dipresentasikan. Tahun 2004 (Seminar Nasional di Hotel Accacia-Jakarta) dan 2006 (Seminar Internasional di Hotel Grasia-Semarang) telah mampu menerbitkan sebuah modul/buku yang ditulis oleh pemateri lengkap dengan daftar  pustakanya (Penulis sangat apresiatif atas ikhtiar ini). Tetapi pada tahun 2010 (Seminar Nasional di Pekan Baru), mengalami penurunan kualitas yang sangat signifikan.

Penulis berani menyebut demikian, hal ini dengan indikasi diantaranya selain buku modul tidak ada (hanya copy CD Presentasi), Seminar Kit yang biasanya dimasukkan dalam tempat/tas cantik yang ekslusif (ada tertera cetakan yang mengabadikan jenis dan waktu kegiatan sebagai kenang-kenangan) di Riau tidak mampu mewujudkan. Disamping, tempat arena kegiatan yang berpindah secara mendadak  juga adanya beberapa mata acara yang mengalami perubahan dengan tanpa perhitungan matang (sorry ini penilaian subjektif Penulis, mudah-mudahan tidak keliru).

Nah, pola ketidakmatangan dan kecermatan Panitia dalam mengelola agenda acara akan menjadi celah bagi peserta untuk kongkow-kongkow. Walaupun pada dasarnya, sekali lagi kembali pada jati diri dan pribadi masing-masing peserta. Hanya saja, kalau Panitia bisa mengeliminir akan hal itu, kenapa tidak?

SEBUAH USULAN: Model Seminar Murah
Kegelisahan akan kebutuhan Seminar berbiaya murah sudah dirasakan sejak lama. Sehubungan dengan itu, Allahu yarham Nova Rahman (Pendiri situs ‘Tempat Nongkrongnya Radiografer se-Indonesia’) pada saat menjelang Seminar Nasional di Banten (2008) pernah menulis usulan konsep seminar radiologi berbiaya murah.

Lebih lengkap usulan beliau saya copy dari Site Radiografer.Net sebagai berikut:

1. Seminar Radiologi sebaiknya dilakukan per Pengda masing-masing.

2. Jika ada Pengda yang pengurusnya sedikit atau kurang aktif, bisa ikut serta di Pengda terdekat yang mengadakan seminar radiologi ini.

3. Untuk menghemat biaya, seminar diadakan di tempat yang cukup besar namun tidak mahal sewanya, seperti aula RS, aula kampus dsb.

4. Pembicara yang qualified dan capable di undang di Pengda yang mengadakan seminar tersebut (lebih murah mengundang pembicara, daripada semua peserta seminar se-Indonesia yang datang ke suatu tempat).

5. Seminar dilaksanakan seharian penuh (dari pagi sampai sore atau bahkan menjelang maghrib), ini dimaksudkan supaya waktunya bisa lama dan tidak ada pengeluaran extra untuk penginapan dan makan malam.

6. Sertifikat diberikan oleh Panitia penyelenggara dengan Mengetahui Ketua PARI Pusat, sehingga sertifikatnya bisa diakui secara nasional.

7. Jika pemberdayaan Pengda berjalan seperti ini, maka saya yakin setiap Pengda di Indonesia akan semakin kreatif untuk mengadakan acara dan kegiatan di Pengda nya masing-masing.

Demikian sekedar coretan yang berusaha merangkum diskusi yang mula-mula diprakarsai oleh Bung Hariri. Terimakasih kepada semua pihak yang telah turut berkontribusi. Tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk merendahkan atau mengecilkan pihak manapun. Terhadap sisi positif yang telah dilakukan PARI kami mengucapkan terimakasih, bila ada yang kurang, kami menganggapnya sebagai peluang untuk lebih bisa berjuang. Kami bangga pada PARI, jayalah Radiografer Indonesia. Terimakasih.

Menggugat Efektifitas Seminar

Belum lama ini di fanpage ‘Cafe Radiologi’ terdapat diskusi yang sangat dinamis. Mula-mula tema diposting oleh Ahmad Hariri yang menggugat keefektifan kegiatan Seminar yang kerap diselenggarakan oleh Perhimpunan Radiografer Indonesia (Selanjutnya ditulis PARI---Pen) sebagai organisasi profesi.

Tak lama setelah tema diskusi diwacanakan, segera saja beberapa komentar bermunculan dengan isi pendapat yang berragam. Bahkan si Babeh http://www.facebook.com/profile.php?id=1787050497 tokoh senior kita sampai harus urun rembug dalam diskusi tersebut. Termakasih Beh...

Setidaknya terdapat Empat pokok pemikiran yang masuk dalam pembahasana, yaitu:

  1. Peristilahan antara Seminar dengan Workshop
  2. Pembiayaan yang relatif mahal
  3. Mata acara (agenda kegiatan)
  4. Sebuah  usulan: Model seminar murah

Mereka yang "Bersahabat" dengan radiasi

KOMPAS.com - Pagi-pagi benar Iwan sudah harus sampai di tempat kerjanya. Maklumlah, jarak antara rumah dan tempat kerjanya yang cukup jauh membuat dia harus bangun untuk mengejar kereta dari arah Depok menuju stasiun Cikini.

Pria beristri dengan empat anak ini pagi itu tampak sibuk dengan tugasnya  sebagai radiografer di salah satu rumah sakit milik pemerintah. Pekerjaan sebagai radiografer sudah digelutinya selama 26 tahun.

Meski tahu akan bahaya dari pekerjaan yang dia jalani, Ridwan tetap tekun. Bahkan, tanpa ada rasa khawatir dia mengatakan, jika terjadi suatu hal yang buruk pada dirinya itu semua adalah sebagai risiko yang harus dia terima dari pekerjaannya.



Sebagai radiografer, Iwan memang hampir setiap hari bersinggungan dengan alat-alat yang memancarkan radiasi seperti rontgen, pesawat sinar x dan CT (computed axial tomography) Scan.  Salah satu tugas radiografer adalah  melaksanakan tindakan radiasi sesuai instruksi tertulis dari dokter spesialis Radiologi konsultan Onkologi Radiasi termasuk pengaturan alat, posisi tiap  pasien.

Apa yang dijalani pria paruh baya ini merupakan bukti tak sedikit di antara masyarakat yang harus bekerja di bawah ancaman risiko radiasi setiap hari. Selain radiografer, tenaga kesehatan lain seperti para dokter dan perawat di rumah sakit yang memiliki fasilitas radioterapi juga sama-sama berisiko. Pasalnya, mereka secara rutin bersinggungan dan berada di sekitar alat-alat kedokteran yang mengeluarkan radiasi.

Mendengar ancaman radiasi dikaitkan dengan peristiwa reaktor nuklir akibat gempa dan tsunami di Jepang, Irwan menanggapinya dengan biasa. Apalagi ancaman radiasi sudah menjadi bagian dari hidupnya. Walaupun sama-sama ada risiko radiasi, apa yang terjadi di Jepang menurutnya jauh berbeda dengan pekerjaannya sebagai radiografer.

"Kalau pesawat sinar x memancar saat kita tembakan. Kalau radiasi yang terjadi di reaktor nuklir itu terus-terusan memancar, jadi bisa mengkontaminasi lingkungan,"serunya.

Iwan pun mengaku tidak khawatir. Ia merasa yakin bahwa profesi yang dilakoninya sudah mendapat perlindungan. 

"Itu sudah risiko pekerjaan. Ya, kami dimonitor menggunakan personal monitoring. Tiap bulan, dosis radiasi yang kita terima dibaca oleh badan yang berwenang kemudian diinformasikan pada kita," ujar Iwan.

Walau sudah berpengalaman, Iwan mengaku tetap bekerja sesuai norma proteksi radiasi yang ada. Biasanya dalam bekerja Iwan menggunakan dua alat pengaman yang sudah tersedia di ruangan.

Alat yang pertama adalah pelindung berbentuk papan yang selama ini dipercaya efektif menahan radiasi dan pakaian proteksi radiasi (APRON). Kedua alat proteksi itu mengandung unsur kimia, metal yang mempunyai ketebalan setara dengan 0,35 mm timbal.

Risiko kecil
Seorang pekerja yang biasa bersentuhan dengan radiasi, menurut Inspektur Utama Keselamatan Nuklir Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) Togap Marpaung, kecil kemungkinannya terkena dampak kesehatan yang serius.

Pasalnya, para tenaga kesehatan seperti radiografer sudah diperlengkapi alat-alat yang pelindung dan ruangan kerjanya pun sudah didesain sedemikan rupa sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
"Dari riset di Indonesia, belum ada petunjuk ke arah situ. Sehingga teman-teman yang bekerja di radiologi hemat kita belum ada yang mengarah ke situ," ujar Togap.
Bukan hanya itu, untuk menjaga keselamatan pekerja radiologi, berdasarkan peraturan dari Bapaten soal pemantauan kesehatan pekerja radiasi, setiap pekerja radiasi wajib diperiksa sekurang-kurangnya sekali dalam setahun dan bisa juga lebih jika dianggap penting.
Seorang pekerja radiasi dikatakan aman jika batas dosis yang mereka terima tidak melebihi 20 miliseivert (mSV) per tahun.
"Sedangkan untuk radiografer, faktanya, mereka hanya menerima paparan radiasi 0,1 miliseivert per bulan sehingga para pekerja radiasi tidak perlu khawatir akan dampak dari radiasi," tambahnya.
Togap menegaskan, memang ada kemungkinan pekerja radiasi terkena kanker, tetapi radiasi bukanlah penyebab utamanya. Menurutnya, banyak faktor faktor lain di luar radiasi yang menyebabkan seseorang terkena kanker.

Mereka yang "Bersahabat" dengan radiasi

KOMPAS.com - Pagi-pagi benar Iwan sudah harus sampai di tempat kerjanya. Maklumlah, jarak antara rumah dan tempat kerjanya yang cukup jauh membuat dia harus bangun untuk mengejar kereta dari arah Depok menuju stasiun Cikini.

Pria beristri dengan empat anak ini pagi itu tampak sibuk dengan tugasnya  sebagai radiografer di salah satu rumah sakit milik pemerintah. Pekerjaan sebagai radiografer sudah digelutinya selama 26 tahun.

Meski tahu akan bahaya dari pekerjaan yang dia jalani, Ridwan tetap tekun. Bahkan, tanpa ada rasa khawatir dia mengatakan, jika terjadi suatu hal yang buruk pada dirinya itu semua adalah sebagai risiko yang harus dia terima dari pekerjaannya.

Pojok motivasi

ini, beneran lho dan benar - benarnyata.....

Mimpi dari Arie Galuh de Jonge


 


Paris?...Menara Eiffel?...
 wow!!!

..pernah aku bermimpi tentang itu,...
...dulu,dulu sekali, ...

Masa remaja, semasa SMA bersama teman-teman sekelas, berpetualang, hiking, naik gunung di Bogor,Sukabumi, memancing di kepulauan Seribu, atau menjelajahi gua bawah sungai.
Saat itu kami menumpang truk batu kapur, duduk diatasnya, tajam dan berdebu, melewati jalan-jalan berlubang di pedesaan nan berbukit,..indah..merasa muda, berjaya dan bebas. Sambil menikmati perjalanan dengan truk yang bergoyang-goyang sarat muatan batu kapur dan beberapa penumpang remaja konyol, diterpa angin dan debu membuat ku terkantuk dan lena, anganku menerawang, bermimpi,..betapa indahnya berpetualang, seperti ini,..
Seperti apa rasanya kalau bisa menjelajah dunia lebih jauh?.., melihat keajaiban-keajaiban di tempat-tempat terindah nun jauh disana, hhmm..
Paris?... apakah benar seperti yang kubaca di novelnya Danielle Steel, romantis, penuh nuansa, gairah dan seni,..cantik dengan menara Eiffelnya yang menjulang..wow!
..ahh..byarrr..gubraak..terguncang hebat truk yg kami tumpangi  ketika melalui  jalan yg berlubang, sekaligus melemparkanku kembali ke alam nyata, di atas tumpukan batu kapur, tajam dan berdebu..indahnya!



Tahun terakhir ku di bangku SMA dihadapkan pada pilihan, lebih tepatnya kenyataan,..apa yg harus kulakukan setelah jenjang SMA? anak yatim, ragil, satu-satunya perempuan dari 6 bersaudara yg mengandalkan kakak-kakak nya untuk membiayai sekolah ,..
Kalau aku ikut UMPTN dengan konsekuensi diterima (prinsip optimis), wahh.. lama sekali mas-mas  ku terbebani biaya, minimal 6 tahun?..hhmm..
Kerja?.. berbekal ijazah SMA? waktu itu pilihannya mungkin pramuniaga saja atau sejenisnya..alternatif lain?..
Menikah?..aahh..terlalu dini, dan bukan tujuan utama hidup ini, cinta ku punya,logika dan realita lebih berperan..
Walau aku bukan murid yg paling bodoh, tapi tidak termasuk paling pintar, akademis cukup lah, gaul, berorganisasi ,masih punya mimpi, semangat tumbuh dan belajar.
Tak mau menyerahkan asa ku pada nasib.
Ku cari informasi tentang sekolah-sekolah setingkat Akademi (negeri) dengan budget terbatas dan berpeluang kerja setelah lulus,  jadi nantinya harus sebuah profesi yang tidak umum untuk meminimalkan persaingan di dunia pencari kerja. Ide bagus!

Sampailah pilihan ku di Sekolah Rontgen DepKes. Bukan karena tersasar atau pilihan acak dari banyak nya sekolah-sekolah yang ku lihat satu persatu, tapi karena Yakin! Keyakinan aku akan menekuni bidang unik ini dan mencintainya, karena sebelumnya ku telaah dengan baik apa saja yang nantinya akan ku pelajari di sana, dan Biologi jadi salah satu pelajaran yang utama, jadi cocok dengan asal fak. ku dari A2. Mantap kulangkahkan kaki ku untuk mendaftarkan diri di kampus Hang Jebat.

Tiga tahun yang menyenangkan kulalui di kampus tercinta. Lagi-lagi ku dapatkan teman-teman yang sejalan, maksud ku, senang jalan-jalan ;),..pergi berpetualang kali ini agak jauh, Yogya, Lampung, Bandung,..bahkan kami jadi saksi sejarah tumbangnya rezim orba, bersama ribuan mahasiswa dari berbagai daerah, kami sempat menduduki gedung parlemen sebagai protes dan euphoria demokrasi, pengalaman yang sangat unik dan mengharukan ,..semuanya memperkaya diri dan wawasan ku  di luar bidang akademik.
 Dan terkadang diam-diam ku masih bermimpi. Suatu saat aku akan mengukir sejarahku sendiri,berkarya dan bercita.

Di tahun ke dua, ketika aku bekerja di Rumah Sakit besar di bilangan Salemba yang mana mereka juga menyalurkan tenaga perawat ke Belanda, di mulailah petualangan ku. Mimpi ku.
Siang itu aku bertemu dengan pemilik Yayasan dan Direktur AkPer, dengan sangat nekatnya aku berusaha meyakinkan mereka bahwa kemampuan dan ketrampilan kami tenaga Rontgen lulusan Indonesia patut di beri kesempatan untuk mengembangkan karir dan ilmu nya di luar negeri, dalam hal ini Belanda. Harap-harap cemas ku ajukan pertanyaan terakhir pada beliau: 'Apakah bapak bisa dan mau mencarikan lahan kerja di Belanda untuk tenaga Rontgen?'..dan tanpa ku duga, dengan logat Belanda dan Bahasa Indonesia nya yang kaku dia menjawab; ' Akan- saya- coba!'..Melonjak dan ber bunga-bunga hati ini tidak karuan,  membayangkan ada harapan (kecil) proyek ini berhasil!

Tujuh tahun kemudian setelah mimpi kecil diatas truk batu kapur tajam dan berdebu, untuk pertama kalinya aku berdiri di bawah kaki-kaki raksasa Eiffel dan mengaguminya..ck..ck..ck..dengan tidak mengurangi hormat ku pada Monas dan patriotisme yang masih lekat, kuakui Eiffel memang cantik juga angkuh, meliuk, menjulang, memandangnya memberi nuansa biru, romantis, ajaib!
Di dalam jiwa, ku melakukan sujud syukur (kalau kulakukan benar takut jadi bahan tontonan;) atas pemandangan yang tersaji di depan pelupuk, terkesan norak, tapi bahagia, ini mimpi ku..Alhamdulillah, maturnuwun Gusti Alloh,.. it's so amazing!

ku, Berani bermimpi,walau diam2,..
ku, Yakin akan pilihan yang dihadapkan kenyataan,..
ku, Ber sungguh-sungguh  menekuni bidang,mencintainya dan menikmati nya,..
ku, Terus ber mimpi,karena itu gratis, bisa memacu prestasi dan motivasi,
Mimpi ku tak kenal ruang dan waktu,..
ber mimpi lah..selagi kau bisa !

22-2,
musim dinginku yg ke 11.






 


 

 

 

 

 

 


 

Pojok motivasi

ini, beneran lho dan benar - benarnyata.....

Mimpi dari Arie Galuh de Jonge


 


Paris?...Menara Eiffel?...
 wow!!!

..pernah aku bermimpi tentang itu,...
...dulu,dulu sekali, ...

Masa remaja, semasa SMA bersama teman-teman sekelas, berpetualang, hiking, naik gunung di Bogor,Sukabumi, memancing di kepulauan Seribu, atau menjelajahi gua bawah sungai.
Saat itu kami menumpang truk batu kapur, duduk diatasnya, tajam dan berdebu, melewati jalan-jalan berlubang di pedesaan nan berbukit,..indah..merasa muda, berjaya dan bebas. Sambil menikmati perjalanan dengan truk yang bergoyang-goyang sarat muatan batu kapur dan beberapa penumpang remaja konyol, diterpa angin dan debu membuat ku terkantuk dan lena, anganku menerawang, bermimpi,..betapa indahnya berpetualang, seperti ini,..
Seperti apa rasanya kalau bisa menjelajah dunia lebih jauh?.., melihat keajaiban-keajaiban di tempat-tempat terindah nun jauh disana, hhmm..
Paris?... apakah benar seperti yang kubaca di novelnya Danielle Steel, romantis, penuh nuansa, gairah dan seni,..cantik dengan menara Eiffelnya yang menjulang..wow!
..ahh..byarrr..gubraak..terguncang hebat truk yg kami tumpangi  ketika melalui  jalan yg berlubang, sekaligus melemparkanku kembali ke alam nyata, di atas tumpukan batu kapur, tajam dan berdebu..indahnya!

back to top