PARI jembatan para radiografer indonesia

PARI jembatan para radiografer indonesia

Wadah organisasi terbesar saat ini untuk para radiografer indonesia ialah PARI.  PARI bukanlah suatu organisasi yang berdiri sendiri tapi tentu saja didalam organisasi tersebut butuh yang namanya anggota, dan dari anggota tersebut akan dipilih pengurus, pengurus tersebutt yang bisa menjadi jembatan dari para anggota untuk menyampaikan aspirasi dan pendapat para anggota kepada pemerintah.. anggota yang saya maksud disini ialah para radiografer indonesia, karena PARI merupakan sebuah organisasi dibidang kesehatan yang menghimpun tenaga kesehatan yaitu radiografer di indonesia yang tentu saja di akui oleh undang-undang.

seperti hal nya jembatan yang sebagai tempat penyebrangan seseorang dari satu tempat ke tempat lain, yang selaluu membantu seseorang kemudahan untuk melangkah dari tempat satu ke tempat lain dengan mobilisasi seseorang akan lebihhh majuuu,, coba kita bayangkan bila suatu daerah terpenciil yang terpisahkan olehh jurang, kalii, maupun ranjauu,, dan didaerah tersebut tidak mempunyai jembatan,, apakah yang terjadiii ?? orang-orang  daerah tersebutt pasti lah akan stagnan atau bisa diartikan tidak ada akses untuk menuju kemajuan,, tidak ada jembatan tentu saja menghambat proses masuknya hal-hal yang positif dan otomatis daerah tersebut akan tertinggal dan akan semakin terpencil.. timbul pertanyaan lagi mengenai sebuah jembatan, apakah cuma asal membangun jembatan untuk membuat daerah terpencil menjadiii majuu ? tentu saja tidakkk asal membangun jembatan. tentu saja ada kriteria-kriteria sebelum membangun jembatan,, di antara nya yaitu jembatan haruslah kuat, kuat menghadapii beberapa rintangan dan musibah tidak roboh bila di lewati oleh sekawanan gajah maupun kendaraan besar, selain kuat jembatan harus mempunya pondasi yang kuat, atau dasar yang kuat karna tanpa pondasi yang kuat jembatan tersebut akanlah roboh, selain pondasi, struktur nya juga kuat, harus d banguun olehhh bahan-bahan yang berkualitas, yang mempunyai daya tahan yang bagus.. bila jembatan itu mempunyai beberapa kriteria tersebutt maka tidak mungkin jembatan itu akan roboh dan bisa digunakan sebagai akses untuk masyarakat terpencil itu untuk maju..

nahh dari inspriasi tersebut kita balik lagi ke pokok pembicaraan, lihatlah sebuah jembatan, pembangunannya tidak hanya asal bangun, tapi harus memiliki kriteria-kriteria khusus agar jembatan itu kokoh, kuat, dan dpt sebagai akses untuk mempermudah masyarakat... hal itu pun terjadi kepada organisasi , khususnya organisasi PARI.. jembatan itu ialah pengurus PARI, dan masyarakat itu ialah Anggota PARI yaitu radiografer..

mengingat jelang kongres nasional ke XII PARI yang insya allah akan diadakan pada tanggal 18 - 20 November 2011 yang mengusung tema " Memperkokoh Eksistensi dan Martabat PARI sebagai organisasi profesi di Tingkat Nasional maupun Global" yang salah satu agenda nya yaitu memilih kepengurusan PARI periode 2011 - 2015.. maka pengurus merupakan jembatan bagi para anggota PARI, maka baiknya kita sebagai anggota PARI yang langsung ataupun tidak langsung ikut andil dalam pemilihan pengurus PARI yang nnti nya sebagai jembatan kita sebagai anggota PARI untuk bisa mengembangkan organisasi profesi kita kearah yang lebih baik.. mau siapapun itu pengurus PARI kita sebagai anggota PARI mendambakan pengurus yang mampu menampung aspirasi anggota, bkn hanya menampung tapi harus lah menyampaikan aspirasi tersebut kepada pemerintah, selalu bekerja cerdas,cermat dan tepat dengan rasa ikhlas tanpa mengharapkan apapun demi kemajuan profesi dan organisasi, berani memberi masukan dan berani juga dikritik, mempunyai rasa konsistensi dalam mengemban amanah tidak mudah terpengaruh atas pendapat-pendapat dari luar yang tidak bertanggung jawab, selalu mentaati AD/ART yang telah ditetapkan,  mempunya pondasi yang kuat dan cerdas, selalu mampu mempererat tali silaturahmi antar anggota... mungkin itu beberapa point dari kami sebagai anggota PARI yang mendambakan kepengurusan PARI yang solid untuk kedepannya..

"Seperti hal nya jembatan, Jembatan yang kokoh dan kuat akan menjadi media yang pas sebagai akses seseorang menjadi maju"

kita pun sebagai anggota tidak lah cuma mengandalkan pengurus saja sebagai jembatan untuk kesuksesan sebuah organisasi, tapi juga anggota pun harus berperan aktif untuk kemajuan dan kesuksesan organisasi.. memberi kontribusi positif, pemikiran yang ilmiah, juga harus meluangkan sebagian waktu nya untuk profesi.. karena organisasi yang kuat ialah organisasi yang didalamnya saling mendukung dan saling menguatkan satu sama lainnya.


yang harus diperjuangkan dalam agenda untuk kepengurusan PARI Periode 2011 - 2015 ialah harus meneruskan perjuangan website PARI yang sudah saat ini dijalankan, website ini juga harus sebagai salah satu website yang dikembangkan oleh kepengurusan PARI dan menjadi media profesi tempat sharing ilmu dan bertukar informasi sehingga bisa menjadi pusat informasi radiografer indonesia, sejaterahkan anggota (Radiografer) melalui pengajuan tentang revisi PP no 48 tahun 1995 mengenai TBR (Tunjangan bahaya radiasi) yang menjadi pertanyaan dan harapan seluruh radiografer indonesia sehingga semakin sejaterah para radiografer indonesia..

tingkatkan kemampuan dan kualitas kita sebagai radiografer indonesia, dengan kemampuan dan kualitas kita dengan otomatis akan mengangkat prestasi organisasi profesi kita yaitu PARI..

jadikan kritik, hujatan, dan hinaan sebagai pembelajaran bukan sebagai penghinaan. pembelajaraan untuk lebih baik dimasa yang akan datang, lebih baik untuk organisasi PARI dimasa yang akan datang...

semoga kita mempunyai pengurus yang berkompeten yang rela berjuang untuk organisasi... amiinn ya rabb.. tidak ada manusia yang sempurna, tapi tanpa kesempurnaan kita dapat belajar menuju sempurna...

amiiinnn..

berjuang lah untuk organisasi,, jaya lah terus radiografer indonesia..

semoga apa yang kita perbuat hari ini, bisa bermanfaat untuk masa yang akan datang..

JAYALAH RADIOGRAFER INDONESIA


-- Admin Cafe Radiologi --

Herman Kurnianto

PARI jembatan para radiografer indonesia

PARI jembatan para radiografer indonesia

Wadah organisasi terbesar saat ini untuk para radiografer indonesia ialah PARI.  PARI bukanlah suatu organisasi yang berdiri sendiri tapi tentu saja didalam organisasi tersebut butuh yang namanya anggota, dan dari anggota tersebut akan dipilih pengurus, pengurus tersebutt yang bisa menjadi jembatan dari para anggota untuk menyampaikan aspirasi dan pendapat para anggota kepada pemerintah.. anggota yang saya maksud disini ialah para radiografer indonesia, karena PARI merupakan sebuah organisasi dibidang kesehatan yang menghimpun tenaga kesehatan yaitu radiografer di indonesia yang tentu saja di akui oleh undang-undang.

seperti hal nya jembatan yang sebagai tempat penyebrangan seseorang dari satu tempat ke tempat lain, yang selaluu membantu seseorang kemudahan untuk melangkah dari tempat satu ke tempat lain dengan mobilisasi seseorang akan lebihhh majuuu,, coba kita bayangkan bila suatu daerah terpenciil yang terpisahkan olehh jurang, kalii, maupun ranjauu,, dan didaerah tersebut tidak mempunyai jembatan,, apakah yang terjadiii ?? orang-orang  daerah tersebutt pasti lah akan stagnan atau bisa diartikan tidak ada akses untuk menuju kemajuan,, tidak ada jembatan tentu saja menghambat proses masuknya hal-hal yang positif dan otomatis daerah tersebut akan tertinggal dan akan semakin terpencil.. timbul pertanyaan lagi mengenai sebuah jembatan, apakah cuma asal membangun jembatan untuk membuat daerah terpencil menjadiii majuu ? tentu saja tidakkk asal membangun jembatan. tentu saja ada kriteria-kriteria sebelum membangun jembatan,, di antara nya yaitu jembatan haruslah kuat, kuat menghadapii beberapa rintangan dan musibah tidak roboh bila di lewati oleh sekawanan gajah maupun kendaraan besar, selain kuat jembatan harus mempunya pondasi yang kuat, atau dasar yang kuat karna tanpa pondasi yang kuat jembatan tersebut akanlah roboh, selain pondasi, struktur nya juga kuat, harus d banguun olehhh bahan-bahan yang berkualitas, yang mempunyai daya tahan yang bagus.. bila jembatan itu mempunyai beberapa kriteria tersebutt maka tidak mungkin jembatan itu akan roboh dan bisa digunakan sebagai akses untuk masyarakat terpencil itu untuk maju..

nahh dari inspriasi tersebut kita balik lagi ke pokok pembicaraan, lihatlah sebuah jembatan, pembangunannya tidak hanya asal bangun, tapi harus memiliki kriteria-kriteria khusus agar jembatan itu kokoh, kuat, dan dpt sebagai akses untuk mempermudah masyarakat... hal itu pun terjadi kepada organisasi , khususnya organisasi PARI.. jembatan itu ialah pengurus PARI, dan masyarakat itu ialah Anggota PARI yaitu radiografer..

mengingat jelang kongres nasional ke XII PARI yang insya allah akan diadakan pada tanggal 18 - 20 November 2011 yang mengusung tema " Memperkokoh Eksistensi dan Martabat PARI sebagai organisasi profesi di Tingkat Nasional maupun Global" yang salah satu agenda nya yaitu memilih kepengurusan PARI periode 2011 - 2015.. maka pengurus merupakan jembatan bagi para anggota PARI, maka baiknya kita sebagai anggota PARI yang langsung ataupun tidak langsung ikut andil dalam pemilihan pengurus PARI yang nnti nya sebagai jembatan kita sebagai anggota PARI untuk bisa mengembangkan organisasi profesi kita kearah yang lebih baik.. mau siapapun itu pengurus PARI kita sebagai anggota PARI mendambakan pengurus yang mampu menampung aspirasi anggota, bkn hanya menampung tapi harus lah menyampaikan aspirasi tersebut kepada pemerintah, selalu bekerja cerdas,cermat dan tepat dengan rasa ikhlas tanpa mengharapkan apapun demi kemajuan profesi dan organisasi, berani memberi masukan dan berani juga dikritik, mempunyai rasa konsistensi dalam mengemban amanah tidak mudah terpengaruh atas pendapat-pendapat dari luar yang tidak bertanggung jawab, selalu mentaati AD/ART yang telah ditetapkan,  mempunya pondasi yang kuat dan cerdas, selalu mampu mempererat tali silaturahmi antar anggota... mungkin itu beberapa point dari kami sebagai anggota PARI yang mendambakan kepengurusan PARI yang solid untuk kedepannya..

"Seperti hal nya jembatan, Jembatan yang kokoh dan kuat akan menjadi media yang pas sebagai akses seseorang menjadi maju"

kita pun sebagai anggota tidak lah cuma mengandalkan pengurus saja sebagai jembatan untuk kesuksesan sebuah organisasi, tapi juga anggota pun harus berperan aktif untuk kemajuan dan kesuksesan organisasi.. memberi kontribusi positif, pemikiran yang ilmiah, juga harus meluangkan sebagian waktu nya untuk profesi.. karena organisasi yang kuat ialah organisasi yang didalamnya saling mendukung dan saling menguatkan satu sama lainnya.


yang harus diperjuangkan dalam agenda untuk kepengurusan PARI Periode 2011 - 2015 ialah harus meneruskan perjuangan website PARI yang sudah saat ini dijalankan, website ini juga harus sebagai salah satu website yang dikembangkan oleh kepengurusan PARI dan menjadi media profesi tempat sharing ilmu dan bertukar informasi sehingga bisa menjadi pusat informasi radiografer indonesia, sejaterahkan anggota (Radiografer) melalui pengajuan tentang revisi PP no 48 tahun 1995 mengenai TBR (Tunjangan bahaya radiasi) yang menjadi pertanyaan dan harapan seluruh radiografer indonesia sehingga semakin sejaterah para radiografer indonesia..

tingkatkan kemampuan dan kualitas kita sebagai radiografer indonesia, dengan kemampuan dan kualitas kita dengan otomatis akan mengangkat prestasi organisasi profesi kita yaitu PARI..

jadikan kritik, hujatan, dan hinaan sebagai pembelajaran bukan sebagai penghinaan. pembelajaraan untuk lebih baik dimasa yang akan datang, lebih baik untuk organisasi PARI dimasa yang akan datang...

semoga kita mempunyai pengurus yang berkompeten yang rela berjuang untuk organisasi... amiinn ya rabb.. tidak ada manusia yang sempurna, tapi tanpa kesempurnaan kita dapat belajar menuju sempurna...

amiiinnn..

berjuang lah untuk organisasi,, jaya lah terus radiografer indonesia..

semoga apa yang kita perbuat hari ini, bisa bermanfaat untuk masa yang akan datang..

JAYALAH RADIOGRAFER INDONESIA


-- Admin Cafe Radiologi --

Herman Kurnianto

Standar prosedur Pemeriksaan Radiografi Diagnostik


Standar prosedur Pemeriksaan Radiografi Diagnostik

1. Pemeriksaan radiografi untuk tujuan diagnostik hanya dilakukan sesuai dengan permintaan yang tercantun pada formulir permintaan pemeriksaan radiologi.


2. Pemeriksaan radiografi hanya dapat/boleh dilakukan oleh radiografer yang telah memeiliki surat izin radiografer dan surat izin bekerja yang dikeluarkan oleh menteri kesehatan indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk.


3. Setiap radiografer yang melakukan pemeriksaan radiografi selalu memakai personal monitoring yang secara berkala harus diukur untuk mengetahi besarnya paparan radiasi yang diterima dalam selang waktu tertentu dan hasil paparan radiasi ersebut tercatat dalam lembar catatan dosis pribadi.

4. Pemeriksaan dan tindakan radiografi melalui pemilihan faktor eksposi yang optimal, posisi dan centrasi yang sesuai dengan jenis dan tujuan pemeriksaan dengan memperhatikan limitasi dosis dengan cara membuat luas lapangan penyinaran yang digunakan sesuai dengan besar/luas obyek yang diperiksa. 

5. Setiap hasil pemeriksaan secara radiografi selalu sesuai dengan imaje kriteria yang telah ditentukan.

6. Sebelum eksposi dilakukan pastikan bahwa tidak ada seorangpun kecuali petugas kamar radiasi berada diruang radiasi dan pintu masuk kamar radiasi sudah terkunci sehingga tidak memungkinkan orang lain masuk.

7. Pastikan bahwa identitas pasien yang akan dilakukan pemeriksaan radiografi adalah benar-benar pasien yang namanya tercantum dalam surat permintaan pemeriksaan radiologi.

8. Untuk pemeriksaan dengan bahan Kontras pastikan bahwa frormulir consent inform telah ditanda tangani oleh pasien/keluarga pasien. 

9. Pastikan bahwa persiapan untuk menanggulangi keadaan darurat medik akibat pemasukan bahan kontras telah tersedia sebelum pemeriksaan dilakukan, termasuk tabung oksigen yang selalu terisi oksigen berikut maskernya.


Oleh: Eddy Rumhadi Iskandar, DFM

Standar prosedur Pemeriksaan Radiografi Diagnostik


Standar prosedur Pemeriksaan Radiografi Diagnostik

1. Pemeriksaan radiografi untuk tujuan diagnostik hanya dilakukan sesuai dengan permintaan yang tercantun pada formulir permintaan pemeriksaan radiologi.


2. Pemeriksaan radiografi hanya dapat/boleh dilakukan oleh radiografer yang telah memeiliki surat izin radiografer dan surat izin bekerja yang dikeluarkan oleh menteri kesehatan indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk.

Standar Prosedur Pelayanan Radiasi Medik Radiodiagnostik



Standar Prosedur Pelayanan Radiasi Medik Radiodiagnostik

1. Semua permintaan pemeriksaan dan tindakan medik dengan penggunaan radiasi dilakukan atas dasar adanya permintaan tertulis dari dokter pengirim / merujuk yang dilengkapai dengan klnis yang jelas.


2. Pemeriksaan dan tindakan medik radiasi harus dilakukan di ruang radiologi kecuali untuk kasus-kasus tertentu yang karena sesuatu hal menurut keputusan secara medis tidak mungkin dialkukan di ruang radiologi dapat dilakukan insitu dengan tetap memperhatikan manfaat dan resiko serta keselamatan dan kesehatan terhadap radiasi bagi para pekerja lainnya yang bertugas diruang tersebut Ruang ICU, ICCU, Ruang Bedah, Ruang Perawatan Isolasi, Ruang Luka bakar ).

3. Pemeriksaan dan tindakan medik radiologi harus dilakukan dengan standar prosedur pemeriksaan medik radiologi yang telah ditetapkan oleh organisasi profesi yang disyahkan oleh direktur rumah sakit.

4. Pemeriksaan dan tindakan radiasi medik hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan bidang radiologi yang telah mendapat pendidikan formal bidang radiologi sesuai dengan kompetensinya.

5. Semua pekerja radiasi yang melakukan pemeriksaan medik radiasi diharuskan memakai personal motoring yang secara berkala diukur besarnya paparan radiasi yang diterima oleh setiap pekerja radiasi dan besarnya paparan radiasi yang diterima harus tercatat pada lembar catatan dosis pribadi bersama catatan medik pekerja radiasi..

6. Pemeriksaan dan tindakan radiasi medik harus mendahulukan pada pasien dengan kasus “cyto “ sebagai upaya life saving sesuai dengan prosedur pelayanan kedaruratan medik.

7. Untuk pemeriksaan dan tindakan radiasi medik yang menggunakan bahan kontras radiografi guna kepentingan medis harus dimasukan melalui intravasculer hanya dapat dilakukan apabila telah dilengkapi dengan surat persetujuan pasien ( consen imform ) setelah terlebih dahulu pasien/ keluarga pasien diberikan penjelasan tentang resiko tindakan mdik yang akan dilakukan serta resiko pemakaian bahan kontras radiografi oleh sebab itu dianjurkan untuk memakai bahan kontras yang cukup aman bagi pasien.

8. Semua pemeriksaan dan tindakan radiasi medik yang menggunakan bahan kontras hanaya dapat dilakukan oleh dokter spesialis radiologi dan tenaga kesehatan bidang radiologi sesuai dengan batas kewenangannya.

9. Dalam keadaan belum tersedianya dokter spesialis radiologi disuatu pelayanan kesehatan hanya boleh dilakukan oleh dokter spesialis lainnya yang diberikan kewenangan melalui surat tugas/penunjukan yang ditandatangani oleh direktur rumah sakit dan atau oleh Wakil direktur Pelayanan medik sesuai dengan peraturan yang berlaku dan bila telah tersedia dokterspesialis radiologi sudah tersedia, maka secara otomatis kewenangan yang diberikan tidak berlaku lagi.

10. Semua ekspertise / jawaban hasil pemeriksaan radiasi medik dibuat rangkap dua yang mempunyai kekuatan medicolegal yang sama dan harus dibubuhi tanda tangan dan nama jelas oleh dokter spesialis radiologi yang memeriksa.

11. Semua pemeriksaan dan tindakan radiasi medik harus dilakukan berdasarkan etika medis dan etika profesi tenaga kesehtan yang menghormati hak pasien sebagai manusia seutuhnya. 

Oleh : Eddy Rumhadi Iskandar, DFM

Standar Prosedur Pelayanan Radiasi Medik Radiodiagnostik



Standar Prosedur Pelayanan Radiasi Medik Radiodiagnostik

1. Semua permintaan pemeriksaan dan tindakan medik dengan penggunaan radiasi dilakukan atas dasar adanya permintaan tertulis dari dokter pengirim / merujuk yang dilengkapai dengan klnis yang jelas.


2. Pemeriksaan dan tindakan medik radiasi harus dilakukan di ruang radiologi kecuali untuk kasus-kasus tertentu yang karena sesuatu hal menurut keputusan secara medis tidak mungkin dialkukan di ruang radiologi dapat dilakukan insitu dengan tetap memperhatikan manfaat dan resiko serta keselamatan dan kesehatan terhadap radiasi bagi para pekerja lainnya yang bertugas diruang tersebut Ruang ICU, ICCU, Ruang Bedah, Ruang Perawatan Isolasi, Ruang Luka bakar ).

STANDAR OPERATIONAL PROSEDURE ( SOP ).

STANDAR OPERATIONAL PROSEDURE (SOP)

Standar Operational Procedure adalah cara kerja / operasional dari suatu aktivitas tertentu yang di tetapkan secara formal ( tertulis ) dan legal ( disah pejabat yang berwenang ). Standar Operational Procedure berfungsi untuk mempertahankan hasil kerja dengan kualitas yang dikehendaki dan dapat dilakukan pula oleh orang lain.

Untuk dapat di pertanggungjawabkan, sesuatu kegiatan yang dilakukan oleh suatu bagian atau personil dari suatu bagian atau personil dari suatu perusahaan haruslah mengikuti suatu pokok aturan aturan prosedur yang telah ditetapkan. 


Prosedur-prosedur tersebut atau yang dikenal dengan Standar Operational Procedure baru dapat ditetapkan setelah mengalami beberapa pertimbangan anatar lain :

1. Prosedur itu merupakan hasil analisa kegiatan yang menghasilkan keluaran dengan kualitas yang optimal.
2. Prosedur itu tidak menyimpang dari kegiatan yang telah dilakukan.
3. Prosedur itu tidak berbelit, kompleks sehingga membingungkan penerima tanggung jawab.
4. Prosedur itu haruslah dimengerti oleh bagian-bagian yang berhubungan dengan kegiatan itu, dan ditetapkan secara formal dan legal.
5. Prosedur itu tidak menyimpang dari hukum yang berlaku.
6. Prosedur itu tidak menyimpang dari hukum yang berlaku.

Dalam kegiatan pelayanan sehari-hari prosedur operasi standar sudah menjadi hal yang biasa, Standar Operational Procedure berisikan hal-hal sebagai berikut :
Sasaran dari kegiatan tersebut
Pedoman umum
Petunjuk pelaksanaan
Form-form yang digunakan
Contoh penggunaan

Standar Operational Procedure yang selalu up to date akan menciptakan keteraturan pelaksanaan kegiatan dimanapun kegiatan tersebut dilakukan. Pola yang teratur ini selaian akan menaikkan kualitas hasil kegiatan pelayanan juga akan meningkatkan moral petugas untuk melaksanaan setiap kegiatan secara bersungguh-sungguh.

Dengan demikian Standar Operational Procedure merupakan suatu keharusan yang perlu dimiliki oleh setiap instansi pengelola radiasi, karena tidak saja akan meningkatkan kualitas pengelolaan radiasi tetapi juga akan meningkatkan manfaat radiasi iru sendiri guna kebutuhan kesehatan masyarakat juga akan meningkatkan derajat keselamatan dan kesehatan pekerja yang mengelola radiasi serta lingkungan dimana sumber radiasi itu manfaatkan.

Pengelolaan radiasi yang diselenggarakan untuk pelayanan kesehatan, sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku harus tersedia berbagai Standar Operasional Prosedur mulai dari awal pengelolaan radiasi sampai akhir pengelolaan radiasi, termasuk standar prosedur operasional pengelolaan zat atau sumber radiasi yang sudah tidak digunakan lagi.

Adapun Standar Operasional yang minimal harus tersedia dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan adalah :

1. Standar Prosedur Operasional Pemanfaatan Radiasi.

Setiap pengelola yang menyelenggarakan pelayanan radiasi harus mempunyai izin operasional pemanfatan radiasi yang diterbitkan oleh Badan Pengawas Tenaga Nukiir ( BAPETEN ), yang akan diterbitkan apabila semua persyaratan pemanfaatan radiasi telah terpenuhi diantaranya adalah :

a. Adanya hasil Survey radiasi yang diukur oleh Petugas Proteksi Radiasi yang berlisensi dan menyatakan bahwa pesawat dan atau sumber radiasi laik pakai dan aman untuk dioperasikan dengan ketentuan sebagaiberikut :
1. Radiasi bocor tabung tidak lebih dari 100 m R / Jam pada jarak 1 m dari fokus
2. Tersedianya lampu luas lapangan penyinaran dan diafragma yang berfungsi dengan baik
3. tingkat paparan radiasi di daerah-daerah yang diperkirakan akan selalu ditempati oleh pekerja radiasi dan atau masyarakat menunjukan tingkat paparan radiasi yang aman.
4. Tersedianya tanda bahaya radiasi berupa lampu merah yang akan menyala secara otomatis apabila pesawat radiasi dan atau sumber ladiasi lainnya dioperasikan.
5. Tersedinya tanda-tanda adanya bahaya radiasi yang dapat dilihat dengan jelas
b. Tersedianya tenaga pekerja radiasi pengelola radiasi dengan kualifikasi yang telah ditetapkan sesuai dengan Permenkes 366 Tahun 1997 yaitu : Dokter Spesialis Radiologi, Radiografer, Fisika Medik dan Petugas Proteksi Radiasi yang berlisensi ( disesuaikan dengan Kalsifikasi Type Rumah Sakit )

c. Tersedianya fasilitas peralatan Proteksi radiasi dalam jumlah dan fungsi yang cukup memadai ( Apron dengan kesetaraan Pb 0.25 dan 0.5 mm , Gloves, kaca mata Pb yang semuanya mempunyai ketebalan setara dengan 0.25 mm Pb ) termasuk didalamnya luas ruangan radiasi dan tebal dinding sesuai dengan standar serta tersedianya alat monitoring perorangan yang dikelola dengan baik dan benar yang ditandai dengan adanya catatan dosis setiap pekerja radiasi untuk setiap bulannya dan dilengkapi dengan catatan medik pekerja radiasi.

d. Tersedianya dokumen-dokumen penyerta peralatan radiologi yang tersimpan dengan baik sehingga bila sewaktu-waktu diperlukan dapat dengan mudah diperoleh

e. Tersedianya prosedur kerja dengan radiasi yang sudah diuji coba sehingga diyakinkan efektif dan efesien dan dapat dikembangkan sebagaimana mestinya apabila diperlukan

2. Standar Pelayanan Radiologi.

Standar 1. Falsafah dan Tujuan

Bagian Radiologi di Rumah Sakit memberikan pelayanan radiodaignostik dan pelayanan radioterapi sebaik-baiknya kepada penderitta yang membutuhkan.

Kriteria

1.1. Pelayanan radiologi disesuaikan dengan pengembangan dan tujuan dari rumah sakit secara keseluruhan.
Pengertian :
a. Pelayanan radiologi adalah pelayanan kesehatan yang menggunakan energi pengion dan energi bukan pengion (non-pengion) baik dalam bidang diagnostik maupun dalam bidang terapi.
b. Memberikan pelayanan rutin, khusus dan gawat darurat.
c. Membicarakan dengan staf mengenai pengertian diagnostik foto dan pemeriksaan imejing lainnya (USG, CT, Nuklir dan lain-lain) serta tindakan radioterapi.
d. Bersikap profesional sesuai dengan etik profesi.
e. Membantu menetapkan dan menjaga pelayanan dengan mutu tinggi melalui analisa, tinjauan dan evaluasi dari gambaran klinik yang ada di rumah sakit.
f. Melakukan riset dan percobaan baru setelah evaluasi.
g. Memberikan informasi tentang tingkat paparan radiasi yang aman bagi pekerja dan masyarakat di tempat-tempat yang mudah dibaca.

1.2. Pelayanan radiologi khusus dan rutin yang diselenggarakan tergantung dari tingkatan kelas rumah sakit dan kemampuan dari rumah sakit.

1.3. Jika pimpinan rumah sakit akan mengambil keputusan yang berkaitan dengan fungsi dan peranan radiologi harus diminta terlebih dahulu pendapat dan sasaran dari staf radiologi.

Pengertian
Bentuk dari partisipasi yang dimintakan :
a. Partisipasi dalam mengevaluasi pelayanan rumah sakit.
b. Memelihara komunikasi dengan administrator dan staf medis rumah sakit serta mengikuti pertemuan-pertemuan tim medis rumah sakit antar bagian/unit dan bagian lain di luar rumah sakit yang ada hubungannya dengan kesehatan.
c. Menghadiri dan berpartisipasi dalam pertemuan berkala dan pertemuan antar bagian/unit dan badan di luar rumah sakit.

Standar 2. Administrasi dan Pengelolaan

Bagian radiologi yang harus mempunyai bagan organisasi dan uraian tugas yang jelas bagi semua klasifikasi pegawai yang ada.

Kriteria

2.1. bagan organisasi akan memperhatikan jalur komunikasi dan garis komando dalam bagian radiologi anatara bidang administrasi, dokter radiologi dan kepala bagian radiologi dan juga hubungan dengan bagian lain terutama bagian yang sering meminta bantuan pelayanan radiologi.
2.2. Harus ada uraian tugas tertulis dari tiap-tiap jabatan struktural dan fungsional yang ada di bagian radiologi.
Uraian tugas ini ditetapkan berdasarkan :
a. kualifikasi dari posisi yang diperlukan,
b. garis wewenang,
c. fungsi dan tanggung jawab,
d. penilaian atas tingkah laku dari tiap anggota staf.
2.3. Struktur organisasi dan uraian tugas akan ditinjau paling tidak tiap tiga tahun sekali dan kalu diperlukan dapat dilakukan perubahan.
Pengertian :

Perubahan yang dilakukan didasarkan atas:
a. adanya jabatan baru,
b. perubahan jabatan baru,
c. adanya sasaran baru.

2.4. Laporan hasil pemeriksaan radiodiagnostik dicatat direkam medis pasien dalam waktu 24 jam setelah interpretasi foto, sedang salinannya harus ada di bagian radiologi. Ahli radiologi akan memberitahu secepatnya kepada dokter yang mengirim pasien untuk pemeriksaan radiologi apabila ditemukan hal-hal serius.
2.5. Semua foto dan rekaman imejing lainnya yang sudah dibaca, akan disimpan di rumah sakit paling tidak untuk jangka waktu 3 – 5 tahun, ini diperlukan bila pasien diperiksa ulang.
2.6. Catatan dari film X-ray, film USG, kedokteran Nuklir, CT-scan, MRI dan lain-lain dibutuhkan untuk pendidikan baik bagi mahasiswa fakultas kedokteran maupun untuk residen dan pendidikan lainnya yang membutuhkan.
2.7. Statistik yang akurat diperlukan untuk tiap jenis pemeriksaan radiologi.

Standar 3. Staf dan Pimpinan

Bagian radiologi dipimpin oleh seorang dokter spesialis radiologi dan dibantu oleh staf yang dianggap mampu sehingga tujuan dan pelayanan bisa tercapai.

Kriteria
3.1. Kepala bagian radiologi bisa seorang tenaga purna waktu atau paruh waktu tergantung kemampuan dari bagian.
3.2 Dokter spesialis radiologi dan radiografer harus siap bila dibutuhkan.
3.4 Tanggung jawab seluruh hasil pemeriksaan radiologi imejing dimengerti oleh dokter spesialis radiologi dan dokter pengirim (merujuk).
3.5. Staf bagian radiologi imejing selain dokter spesialis juga radiografer, perawat, tata usaha, staf administrasi yang jumlahnya sesuai dengan kegiatan yang ada.
3.6. Pertemuan reguler staf diadakan untuk menjamin adanya komunikasi yang baik diantara staf bagian maupun dengan bagian lain dalam rumah sakit.

Standar 4. Fasilitas dan Peralatan

Ruangan peralatan radiologi imejing mempunyai luas yang cukup dan nyaman agar seluruh pelayanan yang diberikan aman, baik bagi petugas maupun pasien serta linggkungan.

Kriteria

4.1. Pengamanan radiasi harus harus diperhatikan secara seksama oleh kepala bagian.
Pengertian :
Tindakan pengamanan selain terhadap bahaya radiasi juga terhadap listrik, mekanik, api dan bahan-bahan mudah meledak. Apabila kepala bagian tidak ada maka orang yang bertanggung jawab adalah orang yang ditunjuk oleh kepala bagian.
4.2. Tenaga yang dijalankan peralatan radiologi imejing yang menggunakan sinar-sinar pengion harus menggunakan alat monitoring dan secara periodik diperiksa di laboratorium yang hasilnya dilaporkan kepada kepala bagian secara berkesinambungan.
4.3. Tindakan terhadap pengamanan ditujukan untuk melindungi pasien, staf dan tenaga lain yang bekerja pada peralatan radiologi.
4.4. Untuk pengamanan ruang peralatan radiologi yang menggunakan sinar-sinar pengion dinilai oleh radiasi. Program perbaikan peralatan direncanakan untuk jangka waktu sepuluh tahun.
4.5. Untuk flouroskopi harus mempunya “image intensifier”

Standar 5. Kebijakan dan Prosedur

Agar pelayanan terhadap pasien bisa optimal maka perlu ada prosedur tertulis yang didasarkan pada pengetahuan dalam bidang radiologi imejing.

Kriteria.

5.1. Kebijakan dan prosedur tata kerja di bagian radiologi imejing harus tertulis.
Pengertian :
Kebijakan dan prosedur dalam pernyataan ini adalah :
a. pemeriksaan radiologi imejing dilakukan hanya berdasrkan permintaan dari dokter. Dalam surat permintaan tersebut dicantumkan keadaan klinik dan pemeriksaan fisik dari pasien.
b. Tanggung jawab dari hasil pemeriksaan radiologi imejing adalah dokter spesialis radiologi.
c. Semua foto seharusnya dibaca oleh seorang dokter spesialis radiologi atau bukan spelialis radiologi yang sudah mendapat penataran dalam bidang radiologi.
d. Prosedur/tata kerja radiologi juga meliputi jadwal pemeriksaan radiologi yang dilakukan di luar ruang/unit radiologi termasuk penyuntikan kontars oleh paramedis dan perawat pasien sakit berat. Harus ada prosedur tertulis mengenai penanggulangan terhadap pasien syok akibat kontras media.
5.2. Buku penuntun prosedur dalam bidang pelayanan radiologi diberikan kepada semua dokter.
5.3. Penuntun prosedur teknik dan pemeliharaan rutin diberikan kepada radiografer.
5.4. Penuntun prosedur administratif diketahui oleh semua staf.
5.5. Kebijakan dan prosedur akan dikembangkan oleh staf radiologi imejing dan komite pengamanan radiasi, bekerja sama dengan profesi lain terkait.
5.6. Kebijakan dan prosedur ini akan ditinjau paling tidak dalam tiga tahun
5.7. Staf harus menjalankan kebijakan dan prosedur ini dan mengikuti semua kegiatan yang ada.

Standar 6. Pengembangan Staf dan Program Pendidikan.

Program pendidikan diberikan kepada semua staf bagian radiologi

Kriteria

6.1. Staf yang profesional akan didorong untuk aktif dalam menghadiri kursus-kursus post graduate yang diadakan oleh organisasi profesional atau universitas.
6.2. Dalam program pendidikan berkelanjutan bila ada perkembangan baru dalam bidang radiologi imejing diinformasikan kepada semua staf.
Pengertian :
Hal-hal yang menyangkut program pendidikan berkelanjutan ini adalah sebagai berikut :
a. program dan pelatihan dasar,
b. menentukan literatur yang harus dibaca
c. menghadiri konfrensi dan pertemuan-pertemuan ilmiah,
d. diskusi dan evaluasi mengenai pelayanan.
6.3. Instruksi pengamanan terhadap bahaya ditujukan untuk melindungi paisen, staf dan semua tenaga yang bekerja dengan peralatan yang berbahaya.
6.4. tersedianya perpustakaan.

Standar 7. Evaluasi dan Pengendalian Mutu

Prosedur evaluasi akan menilai profesionalisme dalam pelayanan radiologi imejing dan pengalaman etika profesi setiap staf.
Mekanisme dari prosedur ini dengan mengumpulkan data-data evaluasi agar cara bekerja di bagian radiologi imejing lebih efektif dari pelayanan lebih ditingkatkan agar tujuan bisa tercapai.k
Kriteria :

7.1. Kriteria ini digunakan untuk menilai penampilan staf oleh kepala bagian setelah dilakukan konsultasi kepada setiap staf.
7.2. Penilaian penampilan kerja staf berdasarkan data atau fakta yang dikumpulkan dalam menjalankan tugasnya.
7.3. Seluruh staf mengikuti evaluasi dan ikut merencanakan kegiatan, mengatasi tiap hal yang tidak efisien.

Oleh: Eddy Rumhadi Iskandar, DFM

STANDAR OPERATIONAL PROSEDURE ( SOP ).

STANDAR OPERATIONAL PROSEDURE (SOP)

Standar Operational Procedure adalah cara kerja / operasional dari suatu aktivitas tertentu yang di tetapkan secara formal ( tertulis ) dan legal ( disah pejabat yang berwenang ). Standar Operational Procedure berfungsi untuk mempertahankan hasil kerja dengan kualitas yang dikehendaki dan dapat dilakukan pula oleh orang lain.

Untuk dapat di pertanggungjawabkan, sesuatu kegiatan yang dilakukan oleh suatu bagian atau personil dari suatu bagian atau personil dari suatu perusahaan haruslah mengikuti suatu pokok aturan aturan prosedur yang telah ditetapkan. 

RADIOGRAFER DARI SEJAK KELAHIRANNYA

RADIOGRAFER DARI SEJAK KELAHIRANNYA

I. SEJARAH PENDIDIKAN

Perkembangan ilmu radiology dimulai sejak ditemukannya sinar-x oleh Prof William Conrad Rontgen pada bulan November tahun 1895 dengan demikian disiplin ilmu radiologi merupakan ilmu yang relatif masih muda dibandingan dengan ilmu-ilmu lainnya khususnya ilmu kedokteran. Sedangkan di Indonesia radiology baru berkembang pada tahun 1950, dengan dibukanya bagian radiology di rumah Sakit Dr.Cipto Mangunkusumo yang pada waktu masih bernama CBZ dan di pimpin oleh Prof. Dr. Vanderplats dan Prof. Knoch radiology dari Belanda, Bersama-sama dengan beberapa dokter dari Indonesia diantaranya Prof Yohannes, Prof Siwabessy, Prof H.B.Syahrial Rasyad, dan Prof. Dr. H. Gani Ilyas yang semuanya sudah almarhum.

Sedangkan tenaga operator pada saat itu direkrut dari tenaga-tenaga perawat senior yang di latih untuk mengoperasikan pesawat dan atau sumber radiasi lainnya. Didalam perkembangannya ternyata bahwa ilmu radiology dan teknologi radiologi berkembang sangat pesat sehingga perlu untuk mendidik tenaga radiografer secara formal.

Pada tahun 1954 pertama kali dibuka pendidikan formal Asisten Rontgen dengan siswa yang diambil dari lulusan Sekolah Menengah Pertama, pendidikan ini terus berlangsung sampai tahun 1968 dengan lokasi tempat pendidikan di Rs. Cipto Mangunkusumo. Hal ini dirasakan perlu sehubungan dengan meningkatnya perkembangan ilmu dan teknologi radiology serta kebutuhan masyarakat pada waktu itu.

Perkembangan ilmu dan teknologi terus berkembang termasuk juga penelitian-penelitian dalam bidang radiology yang dilaksanakan oleh International Atomatic Energy Assosiation (IAEA) tentang akibat negative yang di timbulkan oleh radiasi pengion, maka muncullah rekomendasi-rekomendasi. Salah satu diantaranya adalah pekerja radiasi harus berumur sekurang- kurangnya 18 tahun. Tahun 1964 terbit pula U.U No 60 Tentang pokok –pokok Tenaga Atom yang juga mengatur tentang pemakaian radiasi sinar –x baik yang di gunakan untuk industri maupun untuk kepentingan pelayanan kesehatan

Indonesia yang telah turut menandatangi Konvensi Internasional tentang pemakaian tenaga atom untuk kepentingan perdamaian dan kesejahteraan umat harus mengikuti semua rekomendasi yang di keluarkan oleh Badan Tenaga Atom Internasional.

Maka WHO melalui Departemen kesehatan melakukan persiapan-persiapan untuk meningkatkan pendidikan formal tenaga kesehatan bidang radiology dengan melakukan kegiatan seminar yang pada waktu itu disebut “ Up Grading”. Pertemuan yang di biayai oleh WHO dan pada waktu itu pihak WHO diwakili oleh 2 tenaga ekspert pendidikan tenaga radiographer yaitu Mr.Gordon Ward berkebangsaan Kanada dan Miss.Spiers yang berkebangsaan Australia.

Dari hasil beberapa kali “Up Grading” tersusunlah suatu program pendidikan formal berjenjang setingkat Akademi yang disebut Akademi Penata Rontgen yang didirikan berdasarkan Surat keputusan Menteri No. ………………tertanggal 29 Januari Tahun 1970. Struktur dan Tata Laksana Kerja Organisasi Pendidikan tidak lagi dilaksanakan oleh RS.Dr. Cipto Mangunkusumo tetapi di laksanakan langsung oleh Secretariat Jendral Departemen Kesehatan. Kurikulum yang ditetapkan pada saat itu adalah kurikulum yang diadop dari kurikulum pendidikan formal tenaga Radiografer adi Inggris dan kanada yang disesuaikana dengan situasi dan kondisi Negara Indonesia pada saat itu dan tenaga pengajarnya adadlah para profesi tenaga kesehatan diantaranya adalah Dokter Spesialis radiologi, Dokter Umum, Perawat, Insinyur Elektro, dan tenaga pengajar dari disiplin ilmu lainnya sesuai dengan kurikulum saat itu.

Untuk menyiapkan tenaga-tenaga pengajar bidang radiologi dengan bantuan WHO telah dikirim beberapa radiographer senior dari institute pendidikan untuk mengikuti program pendidikan dosen radiografi ( Teacher Learning ) ke inggris selama 2 (dua) tahun. Dari program tersebut telah lulus pendidikan dosen radiografi sebanyak 4 orang.

Pada tahun Akademik 1969/1970 Instutusi pendidikan APRO ( Akademik Penata Rontgen ) membuka hanya membuka program pendidikan Radiodiagnostik, dan pada tahun berikutnya dibuka program pendidikan Radioterapi sehubungan dengan meningkatnya kebutuhan dakan pelayanan radioterapi. Program Radioterapi berlangsung terus sampai tahun 1987, disebabkan karena kebutuhan akan tenaga kerja pelayanan dianggap telah mencukupi. Keadaan tersebut dikarenakan pengembangan Ilmu dan Teknologi Radioterapi di Indonesia kurang pesat dibandingkan dengan perkembangan ilmu dan teknologi radiodiagnostik ( hanya ada 4 Rumah sakit yang menyelenggarakan pelayanan radioterapi ).

Dalam perkembangan dan perjalannya dalam mengemban visis dan missi Akademi Penata Rontgen telah melakukan revisi kelembagaan dan Program pendidikan yakni menjadi Pendidikan Ahli Madya Radiodiagnostik dan Radioterapi pada tahun 1987 – 1995, kemudian menjadi Akademi Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi yang terakhir dengan Surat Keputusan Menkes R I Nomor 298 April Tahun 2001 kelembagaanpun berubah menjadi Politeknik

Kesehatan dengan program pendidikan Diploma III. Teknik Radiodiagostik dan Radioterapi yang berada pada Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi salah satu jurusan dari tujuh jurusan dibawah lembaga Politeknik dan Radioterapi Jakarta II.

II. PENGEMBANGAN PENDIDIKAN.

Sebagai pendidikan formal tenaga kesehatan bidang radiologi Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan radioterapi poltekkes Jakarta II, terus berkembang mengikuti perkembangan Ilmu dan Teknologi kesehatan yang semakin meningkat. Dengan demikian semakin terasa bahwa muatan pendidikan yang terinci di dalam Kurikulum baik kurikulum tahun 1997 maupun kurikulum politeknik kesehatan program pendidikan Diploma III Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi sudah tidak mungkin lagi memuat ilmu dan teknologi yang berkembang, sehingga menurut keputusan Kongres Nasional ke XII di Bali tahun 1999 pendidikan formal Diploma III Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi perlu di tingkatkan menjadi D IV dan atau S 1.

Pembahasan kurikulum dilakukan secara intensif oleh profesi, dosen Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi Jakarta dan Semarang serta instruktur praktek lapangan beberapa rumah sakit baik dari pemerintah, swasta, BUMN, ABRI dan Polri. Akhirnya pada tahun 2003 tersusunlah Kurikulum pendidikan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi jenjang D IV dan Jenjang Strata I.

Program D IV Teknik radiodiagnostik dan Radioterapi telah dibuka pada tahun 2003 pada Politeknik Kesehatan Semarang yang telah berjalan hampir 42 tahun, sedangkan pendidikan Strata 1 Teknik Radiologi dan Imejing di buka pada Universitas Brawijaya Malamg Jawa Timur , Politeknik Kesehatan Jakarta II rencananya akan membuka Program D IV Teknik Radiologi dan Imejing yang kini masih dalam proses.

III. SEJARAH PROFESI

Sejarah profesi tentunya akan sejalan dengan sejarah institusi pendidikan dimana profesi itu dihasilkan, dengan demikian sejarah profesi Radiografer tidak akan terlepas dari sejarag dan perkembangan Institusi Pendidikan Akademi Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi Departemen Kesehatan R I.

Tahun 1954 lulusan Sekolah Asisten Radiologi ( ASRO ) merasa perlu untuk membentuk suatu wadah sebagai media berkomikasi, dan menyalurkan aspirasi para lulusan, maka dibentuklah oragnisasi yang bernama IKASARI ( Ikatan Asisten Rontgen Indonesia ). Perkembangan ilmu dan teknologi serta kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan bidang radiology semakin meningkat dan anggota semakin banyak sehingga sehingga dibutuhkan suatu wadah yang lebih professional, maka pada tahun 1956 dibentuklah organisasi Persatuan Asisten Rontgen Indonesia yang disingkat PARI.

Tahun 1980 Persatuan Asisten Rontgen mengadakan Kongres yang ke IV di Hotel ASOKA Jl Moh Husni Thamrin, dalam siding profesi nama tersebut dianggap sudah tidak relevan lagi, karena anggotanya tidak hanya lulusan ASSRO tetapi juga lulusan dari Akademi Penata Rontgen yang berjumlah 320 lulusan dari delapan angkatan (angkatan tahun 1972-1980). Secara aklamasi maka nama organisasi dirubah sedangan singkatan tetap lahirlah organisasi
Persatuan Ahli Radiografi Indonesia yang disingkat PARI.


Tahun 1985 dibuatlah Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Kode Etik Profesi serta program kerja yang dalam Kongres tahun 1989 ditetapkan menjadi Anggaran dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang resmi dan syah.

Periode kepegurusan organisasi tahun 1990 -1994 menetapkan program kerja priotas yang harus di laksanakan adalah :
1. Jenjang Pendidikan Formal setingkat D IV dan S 1 walaupun tiadak vertical.
2. Tunjangan Bahaya Radiasi bagai Pekerja radiasi.
3. Jabatan Fungsional Tenaga Radiografer.

Darihasil kerja pengurus didukung baik secara moril masupun metril, maka 2 prioritas program kerja dapat terwujud yaitu :
1. Tunjangan Bahaya Radiasi bagi Pekerja Radiasi yang terbit tahun 1997 dalam bentuk Kepres No. 48 tahun 1997.
2. Pendidikan Jenjang S 1, Kesehatan Masyarakat di Universitas Indonesia.
3. Program Pendidikan Jenjang D IV Fisika Medis di Universitas Diponegoro.
4. Program Pndidikan Jenjang S1 dan S2 Fisika Medis di Universitas Indonesia Jakarta.
5. Program S 1 Radiologi dan Imejing di Universitas Brawijaya Malang.

Dari uraian sejarah perkembangan pendidikan tergambar jelas bahwa Anggota Persatuan Ahli Radiografi Indonesia mempunyai bermacam-macam tingkat pendidikan lanjutan yang berbeda, maka pada Kongres ke XIII di Jogyakarta ditetapkan bahwa anggota Persatuan Ahli Radiografi Indonesia yang disebut Radiografer adalah :

1. Lulusan Asisten Rontgen yaitu lulusan tahun 1950 – 1969.
2. Lulusan Akademi Penata Rontgen yaitu lulusan tahun 1972 – 1989
3. Lulusan PAM Radiodiagnostik dan Radioterapi, yaitu lulusan tahun 1989 -1992.
4. Lulusan Akademi Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi yaitu lulusan tahun 1992 – 2001.
5. Lulusan Politeknik Kesehatan yaitu lulusan tahun 2002- sekarang.
6. Radiografer yang telah meningkatkan jenjang pendidikannya baik formal maupun non formal pada jenjang pendidikan D IV maupu S 1 dibidang disiplin ilmu yang non vertical maupun yang vertical.
Didalam era globalisasi sangat terbuka kesempatan menjadi anggota profesi radiographer bagi tenaga kesehatan dari luar negeri yang bekerja di Indonesia setelah memenuhi ketentuan dan persyaratan yang diatur oleh pemerintah.

Oleh: Eddy Rumhadi Iskandar

RADIOGRAFER DARI SEJAK KELAHIRANNYA

RADIOGRAFER DARI SEJAK KELAHIRANNYA

I. SEJARAH PENDIDIKAN

Perkembangan ilmu radiology dimulai sejak ditemukannya sinar-x oleh Prof William Conrad Rontgen pada bulan November tahun 1895 dengan demikian disiplin ilmu radiologi merupakan ilmu yang relatif masih muda dibandingan dengan ilmu-ilmu lainnya khususnya ilmu kedokteran. Sedangkan di Indonesia radiology baru berkembang pada tahun 1950, dengan dibukanya bagian radiology di rumah Sakit Dr.Cipto Mangunkusumo yang pada waktu masih bernama CBZ dan di pimpin oleh Prof. Dr. Vanderplats dan Prof. Knoch radiology dari Belanda, Bersama-sama dengan beberapa dokter dari Indonesia diantaranya Prof Yohannes, Prof Siwabessy, Prof H.B.Syahrial Rasyad, dan Prof. Dr. H. Gani Ilyas yang semuanya sudah almarhum.

PENERAPAN KESELAMATAN PASEN DI PELAYANAN RADIOLOGI


PENERAPAN KESELAMATAN PASEN DI PELAYANAN RADIOLOGI


PENDAHULUAN

Publikasi terbaru di AS tahun 2011 menunjukkan 1 dari 3 pasien yang dirawat di rumah sakit mengalami KTD. Jenis yang paling sering adalah kesalahan pengobatan, kesalahan operasi dan prosedur, serta infeksi nosokomial. “Belum lagi dari studi 10 rumah sakit di North Carolina menemukan hasil serupa. Satu dari 4 pasien rawat inap mengalami KTD, 63% di antaranya sebenarnya dapat dicegah dan ternyata upaya penurunan KTD di negara maju berjalan lambat,”
Sementara itu di Indonesia, keselamatan pasien telah menjadi perhatian serius.

Dari penelitiannya terhadap pasien rawat inap di 15 rumah sakit dengan 4.500 rekam medik menunjukkan angka KTD yang sangat bervariasi, yaitu 8,0% hingga 98,2% untuk diagnostic error dan 4,1% hingga 91,6% untuk medication error. Sejak itu, bukti-bukti tentang keselamatan pasien di Indonesia pun semakin banyak. “Jadi, memang tidak terlalu keliru jika muncul slogan 'buy one, get one free' dengan tingginya angka KTD dari tindakan medik di RS tersebut,” kata Prof. dr. Adi Utarini, M.Sc., M.P.H., Ph.D. dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Fakultas Kedokteran di Balai Senat UGM, Senin (25/7).


Oleh sebab Keselamatan pasien merupakan isu utama akhir-akhir ini baik di Indonesia maupun di luar negeri. Kepedulian pengambil kebijakan, manajemen dan praktisi klinis terhadap keselamatan pasien. Berbagai seminar, workshop, dan pelatihan banyak diadakan; patient safety, risk management, clinical audit, patient safety indicators – dengan berbagai motif.
Bahwa sistem regulasi pelayanan kesehatan bersifat kompleks. 

Di Indonesia, mutu pelayanan dan keselamatan pasien disebutkan secara eksplisit dalam UU Kesehatan No 36/2009, antara lain, melalui uji kompetensi tenaga kesehatan, kendali mutu, pelayanan sesuai standar dan audit medis, Sarana dan prasarana serta SDM kesehatan harus terstandarisasi. Sementara itu, di Indonesia sosialisasi serta pelatihan mutu dan keselamatan pasien telah dilakukan secara aktif oleh pemerintah dan institusi lainnya sejak 2005.

Oleh karena setiap individu yang menangani pasen memungkinkan timbulnya potensi KTD, oleh sebab itu dibutuhkan kecermatan dan ketelitian dengan memberikan pelayanan prima bermutu tinggi.dengan selalu memperhatikan keselamatan pasen. Meskipun secara alamiah pasen telah memiliki risiko akibat penyakit yang dideritanya, risiko akibat kejadian yang tidak diharapkan (KTD) tentu akan semakin memperparah kondisi pasien. Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula. 

Setelah lima tahun, profesi kesehatan dan rumah sakit mulai terbuka dan menyadari pentingnya mutu dan keselamatan pasien. Istilah medical errors, KTD tidak lagi menimbulkan resistensi.
Instalasi Radiologi yang mempunyai tugas pokok dan fungsi sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan yang memanfaatkan radiasi pengion dan non pengion dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat menuju masyarakat sehat.

Di Instalasi radiologi baik yang mempunyai fasilitas sederhana maupun yang modern merupakan organisasi padat Ilmu pengetahuan dan teknologi, padat profesi, padat mutu serta padat resiko, sehingga tidak mengherankan kejadian tidak diinginkan ( KTD ) kemungkinan dapat terjadi, timbulnya injuri mulai dari ringan sampai berakibat fatal pada pasen, Kejadian Tidak Dinginkan tersebut dapat terjadi mulai dari pra radiasi, selama radiasi maupun sesudah radiasi,

Oleh karena itu semua individu tenaga kesehatan yang terkait dengan pelayanan fradiologi khususnya radiographer harus berperan aktif sangat dibutuhkan dimulai dari sadar akan kualitas, mahir dan trampil melakukan bagaimana cara mengurangi, dan atau menghilangkan KTD bila mungkin, agar tidak menambah keparahan pasen, sehingga hasil layanan tidak saja bermutu tinggi juga mengandung norma-norma keselamatan pasen..

Keselamatan pasen

Instalasi Radiologi merupakan salah satu bagian pelayanan rumah sakit oleh sebab itu pelayanan radiologi tidak hanya terfokus pada tujuan pelayanan radiologi dalam memanfaatkan radiasi tetapi juga tetap mempertimbangkan dan memperhatikan pada tujuan system keselamatan pasen. Selama ini instalasi radiologi dalam melaksanakan pelayanan kesehatan melalui pemanfaatan radiasi pengion dan non pengion sangat terarah pada keselamatan terhadap radiasi karena diketahui pemakaian radiasi pengion mengandung resiko bila digunakan tanpa mengkuti dan taat pada pewraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Kini saatnya semua individu yang terkait dalam pelayanan radiologi mulai memikirkan, membuat, menerapkan dan melaksanakan system keselamatan pasen, sehingga pelayanan radiologi ( Radiodiagnostik) tidak hanya mampu memberikan layanan dan hasil layanan yang bermutu tinggi tetapi juga memberikan kepastian terwujudnya keselamatan pasen ( pasen safety ).

Pelayanan Radiologi.
Pelayanan bidang radiologi yang merupakan pelayanan penunjang kesehatan juga perlu menjaga dan meningkatkan mutu pelayanannya
Pelayanan radiologi merupakan pelayanan kesehatan yang menggunakan sinar peng-ion ataupun bahan radioaktif sehingga penggunaan bahan tersebut mempunyai dua sisi yang saling berlawanan, yaitu dapat sangat berguna bagi penegakan diagnosa dan terapi penyakit dan di sisi lain akan sangat berbahaya bila penggunaannya tidak tepat dan tidak terkontrol, terlebih lagi bila di lakukan oleh tenaga yang tidak kompeten atau bukan radiographer.

Untuk itu setiap pengguna, penguasa ataupun pelaksana pelayanan radiologi harus senantiasa merjamin mutu pelayanannya yaitu harus tepat dan aman baik bagi pasien, pekerja maupun lingkungan atau masyarakat sekitarnya.

Kebijakan dan upaya peningkatan mutu pelayanan radiologi pada dasarnya juga sama seperti kebijakan pelayanan kesehatan umumnya yang mengutamakan kesehatan dan keselamatan pasen antara lain :
- Regulasi perizinan penyelenggaraan radiologi
- Standar Pelayanan Radiologi.
- Pemantapan jejaring pelayanan radiologi
- Penyelenggaraan quality assurance
- Penetapan dan penerapan berbagai stándar pelayanan radiologi
- Pemenuhan persyaratan dalam standar
- Pelaksanaan akreditasi pelayanan radiologi (radiodiagnostik dan radioterapi)
- Peningkatan pengawasan pelaksanaan pelayanan radiologi baik oleh pusat yang dilakukan oleh Depkes dan Bapeten maupun oleh daerah
-Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
- Pengembangan Teknik Pemeriksaan Radiologi
Upaya peningkatan mutu di bidang pelayanan radiologi harus dilakukan baik untuk kepentingan diagnostik maupun untuk pengobatan, agar dengan demikian selain dapat memberikan mutu pelayanan yang tepat dan teliti, sekaligus dapat meminimalkan “interpersonal discrepancies” dan “intrapersonal disagreement” serta dapat memberikan perlindungan maksimal terhadap keselamatan pasien, petugas dan lingkungan, walaupun tidak secara tegas tersurat.

Pemeriksaan Radiologi biasanya dilakukan dengan teknik-teknik yang berbeda sesuai dengan klinis pasen, secara garis besar pemeriksaan radiologi diagnostic terdiri dari:
1. Pemeriksaan dengan sinar-X
    a. Radiografi
    b. Radiofluorografi ( MCS )
    c. Fluoroscopy
    d. CT Scan

2. Pemeriksaan dengan Sinar Gamma ( Radiofarmaka )
    a. Spect ( gamma camera )
    b. PET

3. Pemeriksaan dengan Proton MRI
4. Pemeriksaan dengan Gelombang Suara
    a. USG Konvensional
    b. USG Dopller

Dengan dilakukannya berbagai teknik pemeriksaan radiologi mulai dari yang konvensional sampai dengan teknik intervensional baik dengan menggunakan bahan kontras maupun tanpa bahan kontras, maka setiap pekerja radiasi perlu melakukan dengan cermat karena kemungkinan timbulnya KTD pada setiap pemeriksaan..

Jenis Fasilitas Pelayanan Radiologi menurut Enersi yang digunakan :
1. Sinar-X ( Radiografi dan Fluoroscopy )
A. Pesawat Konvensioanal
a. Mobile Unit
1. Mobile Unit Cordless
2. Mobile Unit Condenser discharge
3. Cathlab ( Monoplane)
b. Stationary X-Ray Unit dan khusus
1. Skull Unit
2. Tomografi
3. Mammografi
4. Pesawat Multipurpose

B. Pesawat Intervensional
a. Cathlab ( Biplane) with DSA.
b. Digital Fluoroscopy
c. Digital Fluoroscopy Remote controle

2. Radioaktif Radioisotop dalam bentuk Radiofarmaka
A. SPECT
B. PET

3. Magnetik-Proton

MRI 1,5 – 3 T

4. Ultrasound
A. A,B Mode
B. 3 D
C. Dopller

5. Dental x-ray Unit
A. Konvensional
B. Digital
C. Panoramic

Dengan meningkatnya jumlah sentra dan fasilitas pelayanan radiologi maka dimungkinkan semakin meningkatnya jumlah pasen yang dilakukan pemeriksaan sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa semakin banyak jumlah pasen yang menerima radiasi dan kemungkinan semakin besar peluang terjadinya KTD. Oleh sebab itu diharapkan petugas kesehatan harus semakin hati-hati untuk tidak menambah penderitaan pasen dengan terjadinya KTD.

Kejadian tidak diinginkan yang mungkin timbul pada proses pelayanan radiologi diagnostic antara lain dapat disebabkan oleh :
1. Pada saat menerima surat permintaan pemeriksaan radiologi
a. Kurang/tidak teliti dalam mengidentifikasi pasen
b. Kurang paham klinis yang membuat kesalahan pembuatan foto
c. .Tidak bertanya apakah pasen hamil atau tidak ( wanita subur )
2. Pada saat dilakukan pemeriksaan.
a. Saat memindahkan pasen ke meja pemeriksaan
b. Terlalu banyak memanipulasi obyek
c. Memakai peralatan kurang steril
d. Tidak menggunakan peralatan disposable
e. Terjadinya kontra indikasi bahan kontras
f. Kurang mahir mencari pembuluh darah KGB ( Lympografi )
g. Terlalu lamanya dilakukan fluoroscopy ( Intervesional )
h. Pengulangan pemeriksaan
- Salah penyudutan arah sinar
- Salah sentrasi
- Under dan upper eksposure                                                                                                  - Tidak ada marker
- Kesalahan tindakan medic oleh resident/radiolog
- Salah positioning
- Kesalahan pesawat yang disebabkan             
1. Tidak dikalibrasi secara rutin
2. Tidak adanya kegiatan QC peralatan radiologi.
3. Tidak dimiliki alat-alat QC radiodiagnostik
3. Sesudah pemeriksaan
a. Efek bahan kontras
b. Tindakan setelah pemeriksaan ( Intervensional )
c. Efek radiasi ( dosis tinggi Intervensional )

Implementasi Keselamatan pasen pada tiap modalitas imajing.
1. Modalitas dengan sumber Radiasi Sinar-X
a. Hindari manipulasi pasen pada saat posisioning
Terutama pada pasen dengan klinis trauma capitis, Fraktur Columna Vertebralis, trauma tumpul abdomen dan thoraks. Begitu pula pasen dengan fraktur ekstrimitas dengan pemakaian peralatan traksi.

b. Pemakaian bahan kontras.radiografi
- Harus ada konsen inform sebelum dilakukan pemasukan bahan kontras
- Harus ada pemeriksaan laboratorium mengenai fungsi ginjal
- Gunakan bahan kontras yang relatip aman
- Harus dilakukan oleh dokter atau didalam pengawasan dokter
- Ada standar kedaruratan medic radiologi
- Teknik pemasukan bahan kontras kadang-kadang membuat KTD pada pemeriksaan radiologi intervensional ( cateterisasi, Lympografi )
- Harus memakai peralatan disposable, terutama pada pemeriksaan intervensional ( Cateter
- Harus dilakukan oleh dokter sub spesialis intervensional untuk mencegah TKD yang lebih serius ( misal putusnya cateter dalam pembuluh darah)
- Perlu dilakukan penanganan khusus pasca pemeriksaan di Ruang Recovery.untuk menghilangkan pengaruh obat anestesi dan penekanan pembuluh darah didaerah bekas insisi ( Odema )

c. Minimalisasi dosis radiasi
- Terutama pada penggunaan teknik fluoroscopy pada tindakan radiologi intervensional.( TAE, TAI, PTCD, Cateterisasi, Embolisasi ),
- Pengaturan luas lapangan penyinaran yang diatur sedemikian rupa sehingga cukup seluas obyek yang diperiksa.
- Pengaturan Faktor eksposi yang tepat ( dicatat pada lembar permintaan pemeriksaan radiologi untuk mudah menghitung dosis permukaan yang diterima pasen.
- Pada setiap pasen wanita usia subur sebelum dilakukan pemeriksaan harus ditanya apakah sedang hamil atau tidak bila hamil diminta petimbangan dokter radiologi apakah perlu atau tidak dilakukan.
Jadi pada hakekatnya semua pemeriksaan atau tindakan radiologi harus dilakukan apabila ada permintaan dari dokter yang mengirim dan dilengkapi dengan klinis yang jelas dan dikerjakan sesuai dengan standar operational Prosedur dan dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten

2. Magnetik Resonansi Imejing
- Sekrining pasen terhadap bahan metal dan ferromagnetic sebelum pemeriksaan bila perlu dengan metal detector.
- Tidak memasukan peralatan medic berbentuk/berbahan metal ke ruang pemeriksaan MRI.
- Pemeriksaan laboratorium fungsi ginjal bila diperlukan pemeriksaan dengan bahan kontras Gadolium
( Lihat lampiran MRI Safety )
Bila dibandingkan dengan pemeriksaan dengan sinar-x pemeriksaan MRI lebih aman.

3. Pemeriksaan Kedokteran Nuklir
Teknik pemeriksaan Kedokteran Nuklir menggunakan radiosotop baik dalam bentuk cair maupun padat biasa disebut radiofarmaka dan jenis radiasi sumber terbuka. Identifikasi pasen harus diperhatikan pada wanita subur dan ibu menyusui hal ini disebabkan karena radiofarmaka ikut dalam metabolisme tubuh Akibat adanya masukan radiofarmaka maka pasen merupakan sumber radiasi oleh sebab yang terpenting adalah mengetahui tingkat aktivitas dan jenis radioframaka yang diberikan. Selain itu penghentian pemberian obat-obatan yang dapat mengurangi fungsi radioframaka. Pemakaian radiofarmaka di Instalasi Kedokteran Nuklir membutuhkan penanganan khusus, apabila terjadi kontaminasi termasuk pengolahan limbah zat radioaktif.

4. Ultrasonografi
Sampai saat ini pemeriksaan USG masih dikatagorikan sebagai pemeriksaan yang paling aman bagi pasen. Belum ditemukan gejala- gejala KTD selama pemeriksaan maupun seudah pemeriksaan,

Kesimpulan
Secara system, keselamatan pasen di pelayanan radiologi belum diatur dalam suatu peraturan baik oleh Departemen kesehatan mapun oleh BAPETEN sebagai regulator pelayanan kesehatan dan lembaga pengawasan pemanfaatan radiasi, semua peraturan perundang-undangan hanya mengatur keselamatan terhadap radiasi baik bagi pekerja radiasi, pasen dan lingkungan. 

Hal ini mungkin disebabkan belum tersosialisasinya system keselamatan pasen walaupun secara structural sudah Rumah sakit yang memiliki Komisi/Komite keselamatan pasen dan melakukan sosialisasi dalam bentuk pelatihan-pelatihan, seminar tentang keelamatan pasen.

Dari kenyataan tersebut adalah tugas profesi yang berkompeten dibidang radiologi apakah itu PDSRI dan PARI untuk membantu pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan untuk membuat peraturan ataupun pedoman yang membahas tentang keselamatan pasen di pelayanan radiologi. Namun demikian walaupun belum ada peraturan perundang-undangan tentang keselamatan pasen di pelayanan radiologi diharapkan Radiografer tetap komitmen terhadap keselamatan pasen dengan melaksanakan dan mentaati semua peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di bidang pelayanan radiologi agar mutu pelayanan radiologi tetap terjamin kualitasnya dan semakin meningkat apabila diterapkannya system Keselamatan Pasen.


Oleh: Eddy Rumhadi Iskandar
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
* Dosen Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan radioterapi PoltekesKemkes Jakarta II
* Penasehat Perhimpunan Radiografer Indonesia
Disampaikan pada Seminar Radiografi Pengda RIAU, Pakan Baru 16-18 September 20011


back to top