Sabtu, 23 Oktober 2010

ARTIKEL RADIOTERAPI




Radioterapi, Teknologi yang terus Berkembang


Oncologi radiasi adalah  gabungan antara disiplin ilmu kedokteran/ klinis dan sain yang dicurahkan untuk memanege  pasien-pasien dengan kenker 
Tujuan radioterapi adalah memberikan dosis radiasi  yang mematikan tumor pada daerah yang telah ditentukan (volume target)  sedangkan jaringan normal sekitarnya mendapat dosis seminimal mungkin dengan demikian akan dicapai rasio terapi yang optimal dengan tingkat efek samping yang minimal yang dikenal dengan “ Therapeutic ratio “
Semakin tinggi therapeutic ratio semakin baik hasil yang di peroleh, hal tersebut dapat ditingkatkan dengan upaya-upaya,  perkembangan ilmu Radiobiologi, Perkembangan tehnologi dari peralatan radioterapi, Kompetensi dari Sumber Daya Manusia (SDM) , Perlengkapan Sarana dan Fasilitas, Quality assurance Fisika    
Keberhasilan radioterapi tersebut tidak terlepas dari dukungan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang menjadi dasar ilmu onkologi radiasi, yaitu Radiobiologi, Fisika radiasi, Onkologi dan Tehnologi peralatan  radiasi yang berbasis komputer. Dan sejalan pula dengan kemajuan dalam tehnologi pencitraan.

Tujuan tersebut dapat dicapai dengan  planning dengan  peralatan yang baik dan tenaga yang terlatih.
Hal ini sangat ditunjang dengan kemajuan tehnologi dari alat-alat radioterapi dan kemajuan dari komputer


            Perkembangan teknologi di dunia kedokteran tidak dapat dipungkiri telah membantu penderita penyakit untuk sembuh dari sakit yang dideritanya dan/atau meningkatkan kualitas hidup penderita tersebut. Salah satu perkembangan teknologi yang sedang diperhatikan dan terus diikuti oleh kalangan praktisi dunia kedokteran adalah kemajuan di bidang yang berkaitan dengan perang terhadap penyakit yang digolongkan sebagai penyakit mematikan dan telah menelan banyak korban di seluruh dunia, kanker.
            Beberapa metode dapat diterapkan dalam penanganan penyakit keganasan ini, atau yang lebih dikenal dengan penyakit tumor ganas atau kanker, yaitu operasi, kemoterapi, dan radioterapi. Metode-metode tersebut dapat diberikan secara mandiri atau dikombinasikan dengan metode yang lain seperti kemo-radiasi yaitu kombinasi kemoterapi dan radioterapi, metode penanganan yang akan dilakukan ditentukan oleh dokter berdasarkan jenis kanker dan stadium (tingkat kegansan) yang diderita.
            Metode penanganan kanker yang sarat dengan teknologi canggih yang sedang dan terus berkembang secara pesat adalah radioterapi. Radioterapi (atau juga dikenal dengan istilah terapi radiasi) menggunakan radiasi untuk mematikan sel-sel kanker atau melukai sel-sel tersebut sehingga tidak dapat membelah atau memperbanyak diri. Radioterapi dapat digunakan untuk meradiasi kanker primer dan/atau gejala-gejala yang diakibatkan oleh kanker yang telah meluas (metastasis).
Radioterapi dalam sejarahnya diawali dengan ditemukannya sinar-x oleh Roentgen pada tahun 1895 dan radioaktifitas oleh Becquerel di tahun berikutnya. Perkembangan revolusioner radioterapi dimulai sekitar tahun 1940. Perkembangan teknologi karena aktifitas perang dunia kedua yang sedang terjadi saat itu merupakan cikal bakal perkembangan pesat di bidang radioterapi. Produksi radionuklida baru dari reaktor dan pemercepat partikel pada mulanya digunakan untuk penelitian teknologi nuklir dan fisika energi tinggi, namun hal tersebut juga memberikan manfaat dalam dunia kedokteran yaitu penggunaan beberapa radionuklida baru yang dihasilkan untuk radioterapi, Co60 adalah salah satu sumber yang paling umum digunakan untuk terapi berkas eksternal. Perkembangan revolusioner berikutnya yang tidak kalah pentingnya adalah linear accelerator atau pemercepat partikel linier, hal tersebut dimungkinkan karena adanya pengembangan teknologi radar.


            Ada tiga prinsip dasar yang merupakan bagian dari radioterapi. Pertama, terapi berkas eksternal, terapi ini merupakan metode yang paling umum digunakan pada radioterapi. Terapi ini biasanya menggunakan modalitas berkas foton atau sinar-x energi tinggi yang dihasilkan oleh pemercepat partikel linier, sinar gamma yang dihasilkan oleh unit Co60 atau sinar-x energi yang lebih rendah dengan rentang energi 50-300 kV juga dapat digunakan. Sebagai tambahan, berkas elektron megavolt dapat juga digunakan untuk meradiasi tumor-tumor atau kanker yang letaknya di permukaan. Selain itu partikel bermuatan seperti proton dan pion juga sudah dan terus dikembangkan untuk keperluan radioterapi. Prinsip yang kedua adalah brakiterapi yaitu terapi dengan menggunakan bahan radioaktif tertutup yang diletakkan dekat atau pada tumor untuk memberikan dosis radiasi terlokalisasi sehingga dosis pada jaringan normal di sekitarnya dapat diminimalisasi, metode ini sangat terbatas penggunaannya dan sangat tergantung pada letak serta ukuran tumor. Dan metode yang sangat jarang digunakan adalah terapi sumber radioaktif terbuka.
            Perkembangan teknologi radioterapi khususnya terapi radiasi ekternal yang pesat terjadi karena didukung oleh perkembangan di dunia komputerisasi. Perkembangan tersebut juga seiring dengan perkembangan dalam teknik pencitraan (radiodiagnostik) seperti computed tomography (CT), kedokteran nuklir (gamma camera), magnetic resonance imaging (MRI), ultrasonografi (USG), dan computed radiography. Keseleruhan teknik pencitraan tersebut memberikan peranan penting dalam penentuan letak maupun ukuran tumor dengan presisi tinggi.
            Beberapa rumah sakit di Indonesia telah melengkapi peralatan medisnya untuk memerangi kanker di negeri ini khususnya dengan metode radioterapi, salah satu rumah sakit tersebut adalah Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP). Kontribusi RSPP dalam layanan radioterapi bagi bangsa ini sudah dimulai sejak tahun 1971, sejak RSPP pertama kali dibuka. Pada saat itu RSPP memiliki pesawat Co60 yang dilengkapi dengan pesawat simulator untuk perencanaan. Sebagai informasi, pesawat Co60 dipasang pertama kali tahun 1951 di London, dan menyebar ke seluruh dunia dan merupakan sumber radiasi utama dalam radioterapi sampai dengan sekitar tahun 1971.1 Sehingga RSPP pada saat itu memiliki pesawat Co60 termasuk masih sesuai dengan perkembangan dunia pada saat itu.
Sampai tahun 1976 survei IAEA (International Atomic Energy Agency) menunjukkan bahwa di seluruh dunia baru ada 336 linac, yang 161 di antaranya berada di Amerika Serikat.2 Di dunia hanya ada beberapa vendor linac, sejauh ini yang terkenal adalah Varian, Siemens, dan Philips/Elekta. Rumah Sakit Pusat Pertamina tahun lalu (2006) telah memasang pesawat linac Siemens Primus 2D Plus. Pesawat yang ada dilengkapi dengan berbagai peralatan antara lain moving laser yang ditempatkan pada pesawat CT multislice yang bertindak sebagai simulator, TPS (treatment planning system) yang mampu untuk perencanaan 3D (dimensi), sistem pembuatan blok pembentuk berkas, beberapa alat fiksasi pasien, dosimeter absolut maupun relatif. Dengan semua perlengkapan yang ada tersebut RSPP sudah dapat mulai memberi layanan radioterapi dengan perencanaan 3D.

Perencanaan 2 dan 3 dimensi
Sebelum ada CT, perencanaan radioterapi 2D dilakukan secara manual, dengan cara meletakkan kurva isodose standard pada kontur tubuh pasien yang diambil langsung dari pasien menggunakan kawat timbal yang lentur atau dengan gips. Cara ini dilakukan di RSPP pada saat menggunakan pesawat Co60 yang lalu.
Setelah ada CT dan komputer, dasar perencanaan 2D menjadi lebih mudah. Perencanaan tetap didasarkan pada anggapan bahwa pasien dapat diandaikan sebagai suatu bidang yang berisi sumbu berkas utama. Informasi data pasien diperoleh dari citra CT yang akan dipakai sebagai acuan perencanaan, dan semua berkas utama yang akan dipakai diletakkan pada bidang tersebut. Distribusi dosis dihitung pada satu bidang dan dapat dilihat dalam displai distribusi dosis dalam 2D, yang selanjutnya dipakai sebagai pemandu penyinaran.
Padahal berbagai struktur yang perlu diperhatikan dapat berada di luar bidang acuan perencanaan, sehingga diperlukan pula informasi distribusi pada bidang lain. Seringkali tambahan data pasien diambil dari satu atau lebih bidang lain yang sejajar dengan bidang acuan, dan selanjutnya pada bidang tersebut dilakukan kalkulasi dosis maupun distribusinya. Perencanaan demikian sering disebut perencanaan 2.5 D. Perhitungan dosis tetap menggunakan algoritma 2D. Geometri berkas dan pembobotan berkas tetap dilakukan pada bidang acuan, jarang dilakukan pada bidang lainnya.
Dengan perkembangan komputer, perencanaan 3D umumnya saat ini sudah dapat dilakukan dengan semua TPS. Dalam perencanaan ini semua sumbu utama berkas tidak harus berada dalam satu bidang. Dasar tujuan perencanaan 3D adalah untuk memberikan dosis tumor tidak pada bidang tetapi dalam volume. Data pasien diperoleh dari banyak irisan citra CT yang selanjutnya diperoleh informasi dalam bentuk volume. Geometri berkas dan portal perlakuan ditentukan berdasarkan penyinaran volume target dengan menghindari struktur anatomi kritis yang harus dilindungi. Perencanaan 3D memungkinkan untuk membuat simulasi akurat penyinaran dengan menggunakan berbagai geometri berkas yang dimodifikasi. Distribusi dosis ditampilkan dalam volume, yang tentunya dapat pula ditampilkan dalam bidang yang didasarkan pada distribusi volume pada target maupun struktur normal kritis di sekelilingnya. Selain distribusi dalam bentuk volumetrik, dalam perencanaan 3D juga dapat diperoleh informasi histogram volume dosis kumulatif yang biasa disebut DVH (dose-volume histogram). Informasi DVH ini memberi informasi fraksi volume struktur kritis yang menerima dosis lebih besar dari suatu dosis tertentu. Informasi ini penting untuk mengambil keputusan secara cepat dalam memilih perencanaan yang tepat.
Unit Radioterapi RSPP telah memiliki fasilitas TPS Pinnacle3 (Versi terbaru V7.6c) dengan keunggulan simulasi maya atau virtual simulation, fasilitas ini memungkinkan untuk melakukan perencanaan penyinaran dan akurasi yang lebih tinggi dalam penempatan arah sinar sehingga jaringan sehat sekitarnya dapat dilindungi secara optimal tanpa mengurangi dosis radiasi yang harus diterima oleh tumor. Fasilitas ini juga meningkatkan kenyamanan pasien, setelah pasien di-scanning di ruang CT scan maka pasien diperbolehkan untuk kembali ke rumah atau ruang tempat pasien dirawat, dan keseluruhan proses perencanaan selanjutnya dilakukan di komputer TPS. Hal tersebut sangat berbeda dengan simulator konvensional. Pada simulator konvensional pasien harus tetap berada di ruangan simulator hingga tercapai hasil optimal perencanaan. Secara umum, pasien yang direncanakan untuk radioterapi menggunakan fasilitas virtual simulator akan berada pada ruangan simulator dengan waktu yang relatif lebih singkat dibandingkan dengan simulator konvensional.
Selain fasilitas virtual simulation, TPS di Unit Radioterapi RSPP juga memiliki fasilitas Digital Reconstructed Radiograph (DRR), fasilitas ini memungkinkan hasil CT scan biasa direkonstruksi menjadi hasil radiografi biasa, dan juga Digital Composite Radiograph (DCR) yang dapat menampilkan daerah pada tubuh yang menjadi perhatian dokter secara khusus (region of interest) misalnya tulang, paru-paru, jaringan lunak, dan lain sebagainya. Perencanaan juga dapat dioptimalkan dengan menggunakan beberapa percobaan (trial) hingga mencapai hasil yang paling optimal, salah satu indikator optimalisasi perencanaan tersebut menggunakan Dose Volume Histogram (DVH), yaitu grafik perhitungan untuk membandingkan dosis yang diterima oleh volume target tumor/kanker dengan dosis yang diterima oleh volume jaringan sehat sekitarnya. Fasilitas-fasilitas tersebut digunakan dalam proses perencanaan yang dilakukan oleh dokter ahli radiasi onkologi, dosimetris dan fisikawan medis secara komprehensif untuk pencapaian hasil perencanaan optimal, dan jika pasien membutuhkan alat-alat bantu radiasi seperti blok atau alat immobilisasi maka alat-alat tersebut dapat dibuat di ruangan mould (mould room).
Hasil perencanaan yang telah dilakukan kemudian akan diproses melalui sistem jaringan informasi terpadu ke sebuah sistem penunjang lainnya yaitu sistem pencatatan dan verifikasi (record and verify system / R&V system). Sistem tersebut juga turut mengambil bagian dalam menunjang keseluruhan proses radioterapi di Unit Radioterapi RSPP. Lantis R&V system merupakan salah satu sistem pencatatan dan verifikasi yang sudah dikenal oleh masyarakat radioterapi di seluruh dunia, dan sistem ini pula lah yang dimiliki oleh Unit Radioterapi RSPP (Versi 6.1). Sistem ini langsung terhubung dengan beberapa sistem lainnya seperti TPS dan kontrol panel pada mesin radioterapi sehingga sistem ini dapat mengkonfigurasi parameter-parameter mesin secara otomatis sesuai dengan perencanaan dari komputer TPS, hal tersebut dapat mengurangi kesalahan-kesalahan yang mungkin dilakukan oleh penata radioterapi (human error), setelah parameter-parameter tersebut terkonfigurasi secara otomatis maka R&V system akan melakukan verifikasi ulang terhadap parameter-parameter tersebut terhadap perencanaan yang telah dilakukan. Keunggulan lain sistem ini adalah sistem pencatatan yang teratur dan sangat mudah dioperasikan (operator friendly) tetapi tetap memperhatikan tingkat proteksi yang tinggi terhadap keamanan data pasien. Secara keseluruhan, sistem ini memungkinkan penggunanya untuk beralih ke teknologi paperless atau sistem tanpa menggunakan pencatatan manual dengan kertas.
Selain hal-hal di atas, perencanaan 3D juga telah berkembang dengan berbagai teknik baru seperti conformal planning. Beberapa perkembangan revolusioner lainnya adalah Intensity-Modulated Radiation Therapy (IMRT), Image-Guided Radiation Therapy (IGRT), dan stereotactic surgery.

Peralatan Dosimetri dan QA (Quality Assurance).
Radioterapi dengan linac berkaitan dengan dosis tinggi. Dosis pada target memerlukan ketelitian tinggi, demikian pula distribusi spasial dalam volume target serta struktur lain disekilingnya. Oleh karenanya pengukuran dosis dan penentuan distribusi dosis spasial sangat penting dan menentukan keberhasilan perlakuan radioterapi. Untuk pengukuran keduanya diperlukan dosimeter absolut dan dosimeter relatif. Peralatan dosimeter absolut diperlukan untuk untuk mengukur output pesawat yang sering disebut dengan kalibrasi. Dosimeter relatif digunakan untuk mengukur distribusi dosis spasial dalam medium, terutama dalam air yang dianggap simulasi jaringan lunak. Linac di RSPP dilengkapi dengan dosimeter absolut maupun dosimeter relatif, dan hasil pengukuran dengan dosimeter memenuhi ketelitian yang diperlukan klinis sesuai dengan rekomendasi berbagai badan internasional seperti IAEA (International Atomic Energy Agency) dan AAPM (American Association of Physicists in Medicine).
Quality assurance peralatan radioterapi merupakan salah satu komponen penting dalam QA komprehensif onkologi radiasi. Tujuan utama QA peralatan radioterapi adalah menjamin bahwa kinerja semua peralatan mempunyai kinerja prima, berada dalam batas yang ditentukan. Hasil tes penerimaan dan komisioning digunakan sebagai acuan untuk menentukan batas kinerja suatu peralatan. Setiap peralatan didesain memiliki karakter kinerja fungsional yang berpengaruh pada ketelitian geometri dan dosimetri dalam pemberian dosis pada pasien. Pelaksanaan QA terutama merupakan evaluasi terus menerus karakter kinerja peralatan. Rumah Sakit Pusat Pertamina memiliki berbagai peralatan QA dan beberapa diantaranya buatan sendiri. Ada beberapa rekomendasi protokol pelaksanaan QA yang diberikan oleh berbagai badan international. Salah satu diantaranya yang digunakan oleh RSPP adalah rekomendasi QA oleh AAPM.3











Radioterapi Unit Siemen D2 Plus Multi energi                              CT simulator Multi Slice dengan Moving laser                   












Tampilan  Treatmen planing system 3D  Pengukuran  Qualitas / Consistensi radiasi yang di keluarkan


Written by Bambang Dwi Karyanto and  Indra Yohannes


Referensi
1.      Johns H. E. And Cunningham J. R., The Physics of Radiology, Charles Thomas Publisher, illinois, Fourth edition 1983.

2.       Rock Mackie T and Palta J. R. (Editors), Teletherapy: Present and Future, Proceedings of the 1996 Summer School, American Association of Physicists in Medicine, Advanced Medical Publishing, Madison, Wisconsin, 1996.

3.      AAPM, Comprehensive Quality Assurance for radiation oncology. Report of AAPM Radiation Therapy Committee Task Group 40*, Med. Phys. 21, 581-618, 1994.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar